Tuesday, February 20, 2007

Banjir Jakarta dan Mitos "Banjir Kiriman dari Bogor"



Awal Februari lalu, Jakarta (kembali) diterjang banjir yang, katanya, lebih besar dari banjir pada tahun 2002 yang lalu. Tentu saja, apabila saya teruskan tulisan ini seperti tulisan-tulisan lain di media massa atau bernuansa laporan kejadian pada saat banjir, maka sepertinya sudah terlalu banyak tulisan semacam itu ya?

Saya lebih suka menyoroti ucapan yang SELALU terulang SETIAP kali ibukota Indonesia tercinta ini terkena banjir, dan dalam setiap pemunculannya, ucapan itu selalu membuat kuping saya panas. Ucapan “banjir kiriman dari bogor”. Mengapa kuping saya panas? Apakah semata karena saya termasuk salah satu penduduk Bogor yang tidak mau dikambinghitamkan atas bencana di Jakarta? Atau karena ucapan itu murni salah? Atau karena ada hal lain yang menjadi penyebab utama banjir di ibukota?

Tentu saja, pada tahap ini akan ada teman-teman yang mungkin berkata, tidak ada gunanya saya mempertanyakan atau mempermasalahkan ucapan itu. Tidak ada juga mungkin gunanya menyalahkan pihak manapun saat ini, apalagi segala macam analisis mengenai seluk beluk banjir jakarta. Bukankah yang penting sekarang adalah penanganan korban bencana?

Yah, saya berencana memberi ulasan yang bisa menjawab semua pertanyaan itu sebenarnya... kalau bisa.

Pertama, mari kita analisis ungkapan “banjir kiriman dari Bogor”. Benarkah bahwa memang ada banjir yang dikirim dari Bogor?

Satu hal yang pasti adalah adanya AIR. Ya, air adalah penyebab utama banjir bukan? Sekarang perkaranya, apakah yang dikirim dari Bogor itu? Banjir atau air?

Ya! Tepat! Yang dikirim dari Bogor bukan banjir, melainkan air. Apakah kemudian ada masalah dengan itu? Tentu tidak, karena kalau ada masalah dengan kenyataan bahwa air bergerak dari Bogor (yang topografinya lebih tinggi dari Jakarta), maka sama saja kita mempermasalahkan hukum alam. Hukum alam sejak pertama penciptaan adalah bahwa air akan bergerak dari dataran yang lebih tinggi ke dataran yang lebih rendah. Dan itulah sebabnya dari sumber air di pegunungan, air akan mengalir melalui sungai-sungai yang semuanya mengarah ke laut. Benar?

Lantas darimana banjirnya?

Banjirnya ya dari Jakarta, dan terjadi di Jakarta.

Air mengalir dari Bogor menuju ke laut dengan melintasi Jakarta memang sudah sifatnya begitu. Permasalahannya sekarang adalah APA yang ada di Jakarta sehingga menyebabkan air itu tidak bisa mengalir dengan lancar ke laut. Terhambatnya aliran inilah yang menyebabkan tergenangnya air dan kemudian menjadi banjir. Ditambah lagi, hujan juga tidak HANYA terjadi di Bogor. Jakarta juga hujan deras. Maka konsentrasi air selain yang datang dari Bogor juga terjadi di Jakarta sendiri.

Jadi, secara ringkas saya hanya ingin mengatakan bahwa yang mengalir dari Bogor itu adalah “air”, sementara “banjir” terjadi karena ada sesuatu yang salah di Jakarta. Apa yang salah itu?

Tentu saya rasa anda semua sudah punya 1001 jawaban dan kemungkinan ada 1001 kebenaran didalamnya.

Selokan mampet karena sampah? Sungai mampet karena sampah? Tidak ada kanal banjir yang berfungsi dengan baik? Kawasan hijau yang makin hilang sehingga air hujan tidak terserap ke tanah dan langsung menggenang? Kawasan rawa-rawa di kawasan Jakarta Utara yang secara alami berfungsi sebagai tandon air sudah menjelma menjadi perumahan mewah? Saluran drainase dan gorong-gorong kota yang mampet karena sampah juga? Banyaknya rumah-rumah liar di bantaran sungai yang secara alami sebenarnya berfungsi sebagai tanggul? Kawasan Jakarta Raya yang memang dataran rendah sehingga banjir adalah sebuah keniscayaan di beberapa lokasi?

Apa lagi?

Anda punya jawaban lain lagi?
Apakah semuanya benar?

Ya, semuanya benar.

Sekarang mari kita analisis satu persatu. Siapa yang membuang sampah sembarangan di selokan-selokan, sungai, gorong-gorong, kanal, dan sebagainya yang menyebabkan semua mampet? Siapa yang membangun (dan tinggal di) perumahan-perumahan mewah di bekas rawa-rawa Jakarta? Siapa yang punya kuasa membangun kanal banjir tapi tidak melakukannya? Siapa yang membangun rumah-rumah liar di bantaran sungai dan menolak apabila ditertibkan? Siapa yang menggusur lahan-lahan hijau dan pepohonan di Jakarta?

Penduduk Lampung kah? Penduduk Makassar kah? Penduduk Surabaya kah? Penduduk Bogor kah? Atau Penduduk Jakarta sendiri?

Benar bahwa air mengalir dari Bogor menuju Jakarta. Tapi banjir Jakarta disebabkan terutama oleh... Jakarta sendiri. Siapa menanam benih, dia menuai hasil. Sesederhana itu. Saya rasa sangat menyakitkan membaca paragraf ini, terutama saat derita akibat banjir belum sepenuhnya hilang. Tapi itulah faktanya. Dan kalau selamanya kita mengingkari fakta ini, maka selamanya juga masalah itu akan tetap ada.

Perkaranya, ketika bencana itu terjadi, yang terkena bukan hanya mereka yang sedikit banyak “berdosa” (yang membuang sampah, developer yang membangun rawa-rawa menjadi perumahan, pemda DKI yang tidak membangun tanggul banjir, dll), tapi SEMUANYA jadi ikut merasakan. Sama seperti apabila di sebuah kapal ada satu orang yang iseng melobangi kapal, maka yang tenggelam adalah seluruh penumpang, bukan cuma orang yang iseng tadi saja. Kenyataan yang menyebalkan memang.

Lantas apakah ada sedikit kebenaran dalam ungkapan “banjir kiriman dari Bogor”? Ya, kita tentu akan dapat mengkaitkan dengan kawasan puncak yang kenyataannya sekarang semakin gundul. Kawasan puncak secara alami berfungsi sebagai tandon air sehingga apabila terjadi hujan lebat di kawasan ini, arus air yang mengaliri Sungai Ciliwung tidak akan terlalu besar.

Saat ini, pertumbuhan di kawasan Puncak memang sudah sangat tidak terkendali. Vila, restoran, dan sebagainya begitu mendominasi. Dan ini berpengaruh signifikan dalam menyebabkan besarnya arus air Ciliwung ketika terjadi hujan lebat di Puncak.

Kita tentu akan berteriak, HENTIKAN PEMBANGUNAN DI PUNCAK!!! Berteriak pada siapa? Pemda Bogor dan Cianjur? Ya, mereka adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan perizinan untuk vila dan restoran di puncak. Perizinan bagi siapa? Bagi orang-orang yang ingin membangun vila. Siapa orang-orang yang ingin membangun vila itu?? Orang Bogor kah? Atau orang-orang Jakarta juga? (btw, vilanya Pak Sutiyoso di Puncak sudah dibongkar belum ya???)

Menyedihkan memang, Pemda Bogor dan Cianjur menjadikan perizinan di Puncak ini sebagai salah satu sumber pendapatan daerahnya. Tapi menyedihkan juga kalau Jakarta tidak menasihati penduduknya yang terus menerus ingin membangun vila disana. Dan apabila Jakarta ingin Puncak tetap terjaga kelestariannya, mengapa Jakarta tidak memberi kompensasi bagi Bogor dan Cianjur untuk pelestarian lingkungan itu? Berapa besar kompensasinya? Tentu harus sebanding dengan pendapatan yang didapat Bogor dari urusan perizinan pembangunan di Puncak itu. Bagaimanapun, itu untuk kepentingan Jakarta juga. Karena pada era otonomi daerah seperti sekarang ini, Pemda Jakarta tidak mungkin terus menerus mengharapkan “kemurahan hati” Pemda Bogor dan Cianjur dalam mengurus Puncak tanpa memberi insentif yang seimbang.

.......

Pada tahap ini, tentu akan ada yang bertanya-tanya, apa sih gunanya mempermasalahkan ungkapan “banjir kiriman dari Bogor” itu? Apa sih gunanya mempersalahkan penduduk Jakarta atas bencana yang menimpa diri mereka itu?

Yang saya harapkan tidak lebih dari perubahan pola pikir. Dengan selalu menggunakan ungkapan “banjir kiriman dari Bogor”, maka secara bawah sadar, penduduk Jakarta akan selalu menganggap bahwa banjir adalah sesuatu yang antisipasinya diluar kuasa mereka. Dengan kata lain, selalu beranggapan bahwa banjir tidak disebabkan (sedikit atau banyak) oleh perilaku Jakarta sendiri. Akibatnya apa? Akibatnya adalah SETELAH BANJIR BERLALU, penduduk Jakarta akan kembali membuang sampah ke sungai (oke, dalam hal membuang sampah ini, penduduk Bogor juga bersalah, karena penduduk Bogor juga suka membuang sampah ke Ciliwung), kembali membangun rumah di bantaran sungai, kembali mengeluarkan perizinan untuk menggusur ruang terbuka hijau dan rawa-rawa, serta kembali menempatkan pembangunan kanal banjir sebagai prioritas terakhir. Karena Jakarta beranggapan, “mau bagaimana lagi, orang banjirnya dikirim dari Bogor kok...” Dan paradigma ini, saya anggap lebih berbahaya dibanding banjirnya itu sendiri.

Sebagai gambaran, saya beri perbandingan berikut:

Pada pertengahan tahun 1960-an, dan 1970-an, terjadi banjir bandang (besar) di Sungai Ciliwung yang melintasi Bogor menuju ke Jakarta. Pada saat itu, air di Ciliwung sangat tinggi sekali. Berdasarkan informasi dari ibu dan nenek saya (karena pada saat itu saya belum lahir), ketinggian air Ciliwung yang melintasi kawasan Merdeka konon sampai menyentuh dan menggenangi jembatan merdeka (yang menghubungkan kawasan merdeka menuju daerah Ciomas, Gunung Batu dan Bubulak sampai Dramaga). Untuk yang pernah ke kawasan ini, tentu tahu jembatan ini. Yang belum pernah, ya terpaksa harus puas dengan imajinasi masing-masing. Itulah saat dimana penduduk Bogor merasa takut ketika melihat Ciliwung. Pada tahun 1960-an itu, bahkan kawasan Sempur (waktu itu belum diisi perumahan) kebanjiran dan Presiden Soekarno sempat berniat menjadikan kawasan sempur itu sebagai danau buatan (karena genangan airnya memang sudah seperti danau).

Tapi ketika banjir tahun 2002 dan Februari 2007 lalu, ketinggian air Ciliwung sama sekali TIDAK seperti itu. Walaupun debit air terhitung besar, tapi permukaan airnya masih sangat jauh dibawah banjir bandang pertengahan 1960 dan 1970-an.

Tentu anda membayangkan bahwa pada pertengahan 1960 dan 1970-an itu Jakarta sudah seperti tenggelam bukan? Kenyataannya, banjir hanya terjadi di beberapa kawasan di Jakarta, dan rata-rata hanya sampai sebatas betis orang dewasa.

Lantas mengapa dengan debit air Ciliwung yang jauh dibawah banjir bandang dahulu itu, sekarang Jakarta mengalami banjir yang parah? Saya rasa kita sudah tahu jawabannya bukan?

..........

Sesuai dengan trend dalam dunia perencanaan di Indonesia, kalangan perencana dan produk-produk perencanaan baru akan ditanya dan dipermasalahkan apabila terjadi bencana. Maksud saya, seberapa sering media massa dan masyarakat (sampai orang-orang yang berdemonstrasi) meributkan Rencana Tata Ruang Kawasan Puncak sebelum terjadinya banjir di Jakarta? Tentu, mengingat sifat reaktif masyarakat Indonesia (dan sakit hati saya serta rekan-rekan sejawat perencana yang tidak pernah dianggap ada sebelum terjadinya bencana), fenomena seperti ini sudah berulang kali terjadi di Indonesia.

Sekarang mari kita analisis, apakah Rencana Tata Ruang untuk kawasan Puncak dan Sekitarnya itu memang ada? Kalau tidak ada, mengapa tidak ada? Dan kalau ada, mengapa tidak dilaksanakan? Apa artinya “mitigasi bencana”?

Perkara ini, akan kita bahas lain waktu, insya Allah (berhubung tulisan ini sudah TERLALU panjang).

Keterangan, sumber gambar dari :

- www.indonesiaseoul.org

- www.tempo.co.id

- www.jasaraharja.com