Wednesday, August 03, 2005
Rejuvinasi Peran Perencana Dalam Menghadapi Era Perencanaan Partisipatif
Dalam Menghadapi Era Perencanaan Partisipatif
“Sebuah Tahapan Awal dalam Pembentukan Kultur Masyarakat Partisipatif”
Awan Diga Aristo (15400008)
Teknik Planologi ITB
Disampaikan Dalam :
Seminar Tahunan ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia)
Universitas Brawijaya, Malang
Juli 2004
Abstraksi
Peran perencana dalam era Perencanaan Partisipatif dipertanyakan kembali. Masihkah Seorang perencana berkutat dalam paradigma positivisme dan komprehensivitas teknis belaka? Makalah ini mencoba merumuskan peranan apa yang sebaiknya diambil oleh para perencana dalam menghadapi era perencanaan partisipatif yang pelaksanaannya sendiri masih menemui kendala-kendala yang cukup mendasar. Perumusan peran yang baik akan menentukan posisi politis perencana dalam masyarakat dan lebih jauh lagi akan menentukan arah dan kecenderungan dalam dunia perencanaan di Indonesia.
Latar Belakang
“... Dalam mencari informasi dari seseorang, hindarilah pertanyaan ‘Apa masalahnya’, melainkan tanyakanlah ‘Bagaimana ceritanya’. Hanya dengan begitu kita akan dapat menganalisis permasalahan secara menyeluruh...”
-John Forrester, 1998-
Dalam dunia perencanaan dewasa ini, paradigma baru yang berkembang seiring dengan era otonomi daerah adalah paradigma perencanaan partisipatif (participatory planning). Produk-produk rencana di berbagai daerah mendapat gugatan karena rencana itu dinilai tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Tetapi ada juga produk-produk rencana yang dibuat dengan hanya memperhatikan aspirasi masyarakat secara murni sehingga terkesan meninggalkan kaidah-kaidah akademis.
Keduanya bukan merupakan cerminan dari suatu proses perencanaan yang “benar”, dalam pengertian bahwa mungkin paradigma yang dianut perencana dalam proses perencanaan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya iklim partisipatif dalam perencanaan, masyarakat mulai tersadarkan bahwa mereka adalah bagian terpenting dalam proses itu, dan oleh karenanya pelibatan dan partisipasi aktif mereka juga menjadi sesuatu yang esensial.
Hal ini menjadi sebuah dilema baru bagi perencana, sekaligus memaksa perencana untuk merumuskan kembali peranan mereka dalam proses perencanaan itu. Peranan inilah yang nantinya akan menentukan posisi mereka dalam peta perpolitikan yang terjadi dalam konteks perencanaan. Dan secara pragmatis, hal ini jugalah yang akan menentukan, apakah profesi perencana masih menjadi profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak.
Perencana dalam Perkembangan Logika
Dunia perencanaan bukanlah sebuah dunia yang stagnan atau tidak berkembang. Sebaliknya, dunia perencanaan akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itulah, logika-logika yang mendasari peran, fungsi dan posisi perencana dalam dunia perencanaan juga selalu berkembang. Kedinamisan inilah yang menyebabkan relung perencana selalu diwarnai kegamangan didalamnya.
Kondisi ini digambarkan oleh John Friedmann (1987)[1] melalui studi yang dilakukannya. Friedmann melakukan suatu studi historis mengenai berbagai dialektika peran perencana dengan logika-logika yang melatarbelakanginya. Menurut paparannya, perkembangan logika perencanaan setidak-tidaknya terbagi kedalam empat tipe, yaitu planning as social reform, planning as policy analysis, planning as social learning dan planning as social mobilization.
Logika planning as social reform merupakan tradisi yang paling awal dan terbesar dalam sejarah perencanaan. Berkembang pada paruh kedua abad sembilan belas dan berawal dari revolusi Perancis, tradisi ini kemudian berlanjut kepada karya beberapa ahli sosiologi dan ekonomi politik besar abad ini seperti Max Weber, Karl Mannheim, Rexford G. Tugwell, Charles Lindblom, Amitai, dan sebagainya. Reformasi sosial yang dimaksud menempatkan perencanaan sebagai bagian dari aparatur negara. Perhatian utamanya adalah kepada upaya menemukan cara paling efektif bagi negara dalam membuat rencana. Dalam hal ini, perencana diposisikan sebagai teknokrat yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak harus memperhatikannya. Ide dasar reformasi sosial adalah bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial. Tradisi ini mencoba mengarahkan masyarakat dari atas, dengan mengasumsikan bahwa masyarakat biasa tidak cukup tahu untuk terlibat dalam perencana.
Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi informasi yang disebut sibernetika. Logika ini muncul kurang lebih dalam masa antara Krisis Malaise (1930-an) sampai pasca Perang Dunia Kedua. Para penganut logika ini meyakini bahwa solusi yang tepat akan muncul dari analisis data yang ilmiah.. Tujuan utama analisiss kebijakan adalah penyajian pilihan dan menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan. Para perencana diposisikan sebagai seorang analis dan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada tanpa ada tendensi untuk melakukan perubahan relasi kekuasaan. Sama halnya dengan tradisi pertama, dalam tradisi ini masyarakat juga diposisikan sebagai obyek dari perencanaan.
Tradisi lain yang kemudian muncul adalah planning as social learning. Pembelajaran sosial ini lebih bersandar pada nilai-nilai epistomologi[2]. Ia berawal dari kritik terhadap hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi tradisi ini, pengetahuan bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktek. Retorikanya adalah learning by doing. Pendukung utama dari aliran ini adalah Jhon Dewey, yang mengkonsepkan bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi merupakan bentuk politik ilmiah. Secara konservatif, ide Dewey ini diadaptasi oleh para teoretisi pengembangan organisasi, yang mengaplikasikannya dalam pengendalian korporasi. Secara revolusioner, ide Dewey ini ditumbuhakan di China oleh Mao Tse Tung. Disini Mao menempatkan perspektif social learning sebagai perluasan dari tradisi mobilisasi sosial (tradisi keempat dalam perencanaan).Ide utama tradisi social learning ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.
Tradisi keempat, tradisi logika mobilisasi sosial, merupakan sebuah tradisi yang sangat kontras dengan tradisi reformasi sosial. Mobilisasi sosial merupakan sebuah tradisi perlawanan yang berkembang dari interaksi kaum utopian, anarkis dan Marxis. Pekerjaan utama dari tradisi ini adalah emansipasi kemanusiaan dari penindasan sosial. Konsekuensinya adalah senantiasa berhadapan dengan segala kekuatan yang menindas, dan oleh karenanya menjadi sangat kental dengan gerakan-gerakan perjuangan, baik dengan kekerasan maupun tidak, baik bersifat politis maupun tidak, baik bersifat revolusioner maupun bersifat reformis. Yang menjadi prinsip utama dari tradisi ini adalah “tidak ada kelompok yang benar-benar bebas sampai kebebasan tersebut benar-benar diperoleh seluruh kelompok.”
Tradisi keempat ini memandang perencanaan sebagai panduan sosial, sangat berbeda dengan perencanaan sebagai perubahan struktur dan sebagai transformasi sosial. Tipe perencanaan seperti itu dinamakan perencanaan radikal. Oleh karena itu, posisi dan peran perencana sangat ditentukan oleh logika-logika perencanaan yang radikal pula. Dan peran-peran perencana menurut perencanaan radikal itu termasuk menyediakan catatan-catatan kritis atas situasi saat ini menuju suatu perubahan, membantu komunitas dan kelompok yang siap bergerak menemukan solusi-solusi praktis untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, mendorong penguatan kapasitas komunitas untuk menemukan strategi-strategi yang akurat dan membantu komunitas untuk merumuskan kembali aspek-aspek teknis dari solusi-solusi untuk perubahan. Yang lebih penting dari peran-peran tersebut adalah perencana harus memiliki komitmen secara ideologis untuk mendorong terjadinya transformasi pada komunitas dan tidak pernah membuat jarak dengan komunitas tersebut.
Dengan mencermati berbagai perkembangan logika perencanaan di atas, satu hal yang dapat disarikan adalah bahwa memang dunia perencanaan itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat yang ada didalamnya. Sebagai sebuah logika, sebenarnya keempat logika yang diuraikan di atas akan tetap bertahan sampai kapanpun. Perkembangan yang kedepannya akan terjadi, apabila bukan penambahan logika baru, adalah perputaran penggunaan logika-logika itu atau perkembangan kemampuan dari para perencana untuk menentukan logika mana yang akan lebih banyak berperan, sesuai kondisi yang ada saat itu.
Perencanaan dalam Domain Publik
Bagaimanapun dan apapun logika perencanaan yang digunakan dalam dunia para perencana, satu hal yang tetap tidak berubah adalah bahwa domain perencanaan adalah dalam domain publik (Friedmann, 1987), mengingat memang dimensi yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dunia perencanaan adalah menyangkut kepentingan-kepentingan dalam relung publik. Oleh karenanya, kepentingan perencanaan juga adalah untuk mengatur pertumbuhan sehingga nilai sosial yang didapat akan maksimal, atau paling tidak, social distrubtion minimised (Kraushaar dan Gardels, 1983[3], dan Healey, 1997[4]).
Menurut Goulet[5], setidak-tidaknya ada tiga rasionalitas yang saling ber-inter-relasi dalam penentuan keputusan-keputusan publik, yaitu technological rationality, politican rationality dan ethical rationality. Technological Rationality bersandar pada epistemologi ilmu modern yang mengedepankan logika efisiensi. Sementara politican rationality merupakan logika kepentingan yang selalu mengedepankan pemeliharaan institusi dan kebijakan. Lebih jauh dari itu, pada realitasnya seringkali motif-motif pemeliharaan institusi dan kebijakan itu menjadi alasan yang menyelubungi motif-motif mempertahankan kekuasaan dan mencari keuntungan. Dan ethical rationality lebih menekankan pada pencitaan, pemeliharaan atau mempertahankan norma-norma. Biasanya norma-norma itu menyangkut norma universal seperti agama dan norma-norma yang dikonstruksi oleh pengalaman, posisi sosial dan pandangan dari seseorang atau sekelompok orang.
Secara normatif, seorang perencana harus mampu untuk mengintegrasikan ketiga rasionalitas itu secara harmonis dalam menjalankan peran profesionalnya (professional role). Akan tetapi, akan tetap menjadi sebuah pertanyaan besar apabila seorang perencana dihadapkan pada pertentangan pada ketiga nilai tersebut. Adalah sesuatu yang sangat naif apabila ketiga rasionalitas tadi dianggap akan selalu berjalan beriringan. Nilai-nilai etika memang akan sangat bergantung pada mind-set dan faktor-faktor yang membentuk seorang perencana secara dogmatis. Akan tetapi rasionalitas teknis dan politis merupakan dua rasionalitas yang perkembangannya jauh lebih cepat dibanding nilai-nilai etis, mengingat kedua rasionalitas itu merupakan dua hal yang akan sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural masyarakat dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Artinya, kedua rasionalitas itu bisa berubah secara sekuensial atau bahkan responsif terhadap apa yang terjadi. Keduanya bahkan bisa saling bertentangan.
Hal-hal yang secara teknis normatif “benar” menurut perencana belum tentu well accepted atau dianggap “benar” oleh masyarakat. Konteksnya menjadi sesuatu yang politis. Konteksnya bukan lagi menjadi apakah sesuatu itu benar atau salah, akan tetapi lebih kepada apakah sesuatu itu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. Perbedaan persepsi antara perencana dengan masyarakat itu bisa disebabkan oleh banyak hal, yang salah satunya adalah tingkat kesadaran masyarakat.
Paulo Freire[6] mengungkapkan bahwa ada tiga jenis kesadaran masyarakat yang akan sangat berpengaruh pada cara atau bagaimana masyarakat menilai suatu permasalahan. Kesadaran yang pertama adalah kesadaran magis, dimana masyarakat tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran yang kedua adalah kesadaran naif, dimana masyarakat beranggapan bahwa “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah sosial. Kesadaran ketiga adalah kesadaran kritis, dimana masyarakat memandang aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Maka pandangan masyarakat secara umum akan bergantung dari jenis kesadaran mana yang dimiliki masyarakat atau sejauh mana ketiga jenis kesadaran itu saling mempengaruhi dalam masyarakat.
Dilema selalu muncul apabila pendekatan normatif komprehensif perencana ternyata tidak sesuai dengan keinginan atau apa yang dianggap “benar” oleh masyarakat. Hal ini akan selalu terjadi selama ada kesenjangan pengetahuan dan pemahaman antara perencana dengan masyarakat. Kesepahaman itulah yang seharusnya terbangun melalui pembelajaran-pembelajaran sosial dalam hal perencanaan. Tapi ironisnya, pembelajaran itu jugalah yang paling minim terlihat dalam masyarakat. Bukan karena masyarakat tidak mau, tapi karena baru sangat sedikit pihak yang mau belajar bersama masyarakat.
Dan seringkali dilema itu akhirnya mencuat dan bermuara pada proses pengambilan keputusan dalam perencanaan. Secara ekstrim pilihan dalam pengambilan keputusan itu akan menjadi “being right” (menjadi benar) atau “doing good”(bertindak baik). Being right dalam hal ini berarti mengambil keputusan sesuai dengan dasar-dasar teknis keilmuan yang dimiliki seorang perencana secara komprehensif. Sementara doing good bisa berarti mengambil keputusan yang sekiranya akan diterima dengan baik (well accepted) oleh masyarakat, terlepas dari apakah keputusan itu sesuai dengan kaidah keilmuan atau tidak.
Dalam sebuah pameo, perbandingan antara seorang peneliti dengan seorang politisi tergambar dengan cukup baik dengan menyebutkan bahwa “seorang peneliti bisa saja salah dalam melakukan penelitian, akan tetapi ia harus jujur dalam menyampaikan hasil penelitiannya itu, sementara seorang politisi bisa saja tidak jujur akan tetapi ia tidak boleh salah dalam mengambil keputusan.” Tidak menjadi sesuatu yang aneh apabila ada saat-saat tertentu dimana seorang perencana harus memilih antara menjadi seorang peneliti atau menjadi seorang politisi, karena sebuah produk rencana yang secara teknis benar tetapi tidak mau dilaksanakan oleh masyarakat akan menjadi tidak bermakna, sama berbahayanya dengan sebuah produk rencana yang disetujui dan dilaksanakan oleh masyarakat akan tetapi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan. Kemampuan untuk mengambil jalan tengah di antara dua pilihan itu menjadi sebuah syarat bagi seorang perencana untuk bisa survive dalam domain publik.
Tipologi Partisipasi
Gaventa dan Valderama ((Gaventa-Valderama, 1999) mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu partisipasi politik (Political participation), partisipasi sosial (Social Participation) dan partisipasi warga (Citizen Participation/Citizenship)[7]. Partisipasi politik lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
Dalam partisipasi sosial, partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.
Sementara partisipasi warga (citizenship) menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderama menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”[8]. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran. Untuk konteks Indonesia, salah satu contoh bentuk partisipasi warga diantaranya adalah dibentuknya Dewan Pendidikan Kota (DPK) di kota-kota besar yang memang tugasnya adalah menentukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan formal di kota tersebut. Konsep DPK ini sebenarnya mengacu pada bentuk city councils di negara-negara barat yang umumnya memang dibentuk secara sektoral dan anggotanya diambil dari masyarakat yang memang berkompeten di bidang terkait.
Perencanaan Partisipatif di Indonesia : Sebuah Gambaran
”...Akan selalu ada jarak antara idealisme dan kenyataan. Yang harus terus kita perjuangkan adalah bagaimana memperkecil jarak itu di zaman kita, sehingga bisa menjadi dasar bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan di zaman mereka...”
-NN-
Fenomena yang terlihat di Indonesia saat ini adalah bahwa bandul pemikiran dunia perencanaan dan kebijakan publik telah bergerak ke arah tradisi pembelajaran sosial dan mobilisasi sosial seperti yang diutarakan oleh Friedmann. Prakarsa-prakarsa baru mulai berkembang dalam masyarakat seiring dengan mulai dibukanya ruang-ruang partisipasi bagi masyarakat dan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Terkait dengan perkembangan paradigma perencanaan itu, sejak bergulirnya era reformasi 1998, Indonesia telah memulai berbagai inisiatif yang dirancang untuk memperbaiki sistem tata pemerintahan dan desentralisasi, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas. Sebuah proses konsolidasi demokrasi tentu membutuhkan lebih dari sekedar pergantian Presiden atau manuver-manuver politik yang dilakukan di tingkat elit. Ia membutuhkan adanya pendalaman nilai-nilai kemasyarakatan yang mendukung kerja sama dan partisipasi dalam sebuah civil society. Ia juga membutuhkan adanya suatu keterbukaan dan rasa saling percaya antara pemerintah dengan masyarakat. Inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan kebijakan publik dalam mendukung sebuah bentuk demokrasi partisipatorik sangat diperlukan. Inovasi-inovasi ini harus mampu mendukung terwujudnya sebuah proses yang partisipatif. Lebih jauh dari itu, inovasi ini juga harus mampu membangun sebuah pembelajaran publik sebagai prasyarat bagi publik untuk mampu berkontribusi
Setidaknya ada lima paradigma baru yang menyebabkan perubahan dan perkembangan pola pikir dalam perencanaan yang juga menyebabkan perubahan pada produk-produk rencana di Indonesia. Kelima paradigma tersebut adalah :
Pertumbuhan perekonomian global
Orientasi pembangunan
Kemitraan pemerintah dan masyarakat (Public-Private Partnership)
Perkembangan sistem dan teknologi informasi
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
Paradigma kemitraan pemerintah dan masyarakat yang pada awalnya secara sempit diartikan sebagai kemitraan pemerintah-swasta dalam pembangunan ternyata mencuatkan kembali sebuah nilai/norma dasar dalam perencanaan yang selama ini seolah terlupakan, yaitu prisip partisipastif dalam perencanaan. Dalam perencanaan yang partisipatif (participatory planning), masyarakat dianggap sebagai mitra dalam perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi rencana, karena walau bagaimanapun masyarakat merupakan stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.
“Perencanaan tidak dapat efektif, kecuali bila dilakukan dengan pengenalan, pemahaman, dan pemanfaatan struktur kekuatan pemerintah dan non-pemerintah”[9]. Dari kata-kata ini, dapat kita tangkap bahwa sebenarnya hal yang utama dalam memadukan unsur-unsur pemerintah dan non-pemerintah (termasuk masyarakat) adalah proses pengenalan, pemahaman, dan pemanfaatan struktur diantara keduanya. Pembangunan komitmen, identifikasi pelaku (stakeholders), identifikasi kondisi partisipasi, dan identifikasi kapasitas pelaku menjadi prasyarat dasar sebelum perencanaan melangkah lebih jauh.
Untuk konteks Indonesia secara umum, pembangunan prasyarat-prasyarat itu menjadi sesuatu yang masih harus dipelajari, dikaji, dan terus coba dibangun, karena pada kenyataannya tingkat ideal dari prasyarat-prasyarat itu masih terasa begitu mengawang-awang. Kesadaran yang mulai terbangun bahwa manusia, masyarakat sebagai salah satu stakeholder utama yang membentuk sebuah kota, wilayah, kawasan, atau singkatnya, kegiatan, merupakan subyek sekaligus obyek dari perencanaan itu sendiri ternyata tidak diimbangi dengan pembangunan pengetahuan maupun sarana-sarana dimana masyarakat itu dapat menyalurkan aspirasinya itu. Artinya, paradigma partisipatif yang sedang dicoba untuk diterapkan itu menemui hambatan justru dalam hal kapan, untuk apa, dan bagaimana seharusnya masyarakat itu menyalurkan aspirasinya. Bukan berarti bahwa wahana atau kesempatan itu tidak ada. Akan tetapi lebih pada hal apakah masyarakat mengetahuinya atau tidak, apakah masyarakat itu cukup memiliki pengetahuan untuk berperan dalam perencanaan atau tidak, dan apakah memang ada political good will dari pemerintah untuk menyikapi partisipasi masyarakat itu atau tidak.
Kecenderungan yang sering terlihat bukanlah kenyataan bahwa masyarakat itu tidak memiliki kepedulian terhadap perencanaan, akan tetapi kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat tidak tahu bagaimana menyalurkan aspirasi dan bentuk-bentuk partisipasi mereka itu. Akhirnya yang sering terjadi adalah penerapan bentuk participatory planning yang semu dan penyampaian aspirasi yang tidak terkoordinir oleh masyarakat. Mudahnya, apabila sering terlihat aksi-aksi demonstrasi mengenai suatu produk perencanaan, bukankah itu juga merupakan suatu bentuk partisipasi ? Bukankah itu juga bisa menjadi bukti bahwa masyarakat sebenarnya peduli pada perencanaan dan apa dampaknya terhadap mereka ? Atau mungkin, wahana partisipasi dan penyampaian aspirasi masyarakat itu sendirilah yang kurang merakyat, dalam pengertian kurang bisa dijangkau masyarakat karena memang harus menghadapi sistem birokrasi yang cukup rumit.
Sebagai contoh, dalam PP No. 69/1996 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang sebenarnya diatur tata cara penyampaian aspirasi masyarakat untuk mengkritisi atau menyikapi produk-produk rencana, khususnya rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam PP No. 69/1996 itu dipaparkan bahwa untuk mengkritisi suatu RTRW Kabupaten/Kota masyarakat dapat langsung melayangkan surat ke Bupati/Walikota, untuk mengkritisi suatu RTRW Propinsi masyarakat dapat langsung melayangkan surat ke Gubernur. Bagitu juga, analoginya, untuk kasus RTRW Nasional surat dapat dilayangkan ke Presiden Republik Indonesia. Memang benar bahwa wahana itu tersedia, akan tetapi apakah wahana seperti ini sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat. Terlebih lagi, rentang waktu untuk surat itu sampai ke tangan Bupati/Walikota atau Gubernur juga menjadi tanda tanya tersendiri mengingat sistem birokrasi dalam jaringan administrasi lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia yang kompleks. Maka tidak heran apabila masyarakat lebih memilih untuk menempuh cara-cara yang dirasa lebih praktis, pragmatis, ketimbang bermain dalam sistem yang sejak dulu memang terkenal karena inefektifitasnya.
Selain itu, penyebarluasan informasi-informasi dan wacana-wacana perencanaan untuk dapat diakses oleh masyarakat luas juga menjadi unsur penting dalam pembangunan iklim perencanaan yang partisipatif ini. Fenomena bahwa masyarakat lebih sering bersikap reaktif terhadap implementasi perencanaan yang cenderung kontroversial tidak menjadi hal yang aneh mengingat informasi konsep rencana tata ruang sejak awalnya pun sangat minim diperoleh masyarakat. Kalaupun ada, usaha-usaha penyebaran informasi itu hanya dilakukan sesuai standar prosedur, tanpa memperhatikan apakah memang masyarakat sudah cukup memiliki kapasitas untuk mengkritisinya. Sebagai contoh rencana tata ruang seringkali hanya diwacanakan dalam bentuk penempelan peta rencana guna lahan di tempat umum atau dipublikasikan melalui media cetak, tanpa mencoba memikirkan apakah memang masyarakat sudah mengerti arti sebuah peta rencana guna lahan, apa arti simbol-simbol yang terdapat didalamnya, atau bahkan apa arti rencana tata ruang itu dan apa artinya untuk mereka. Langkah-langkah untuk melakukan “pencerdasan” masyarakat untuk hal-hal mendasar seperti ini masih sangat minim dilakukan oleh pemerintah, padahal justru hal-hal inilah yang akan menjadi fondasi untuk membangun sebuah masyarakat yang mampu berperan aktif dalam paradigma perencanaan yang partisipatif.
Akan tetapi, usaha-usaha pencerdasan atau pengembangan masyarakat itu menemui hambatan lain lagi dalam hal kondisi internal sosial ekonomi masyarakat itu sendiri. Kondisi masyarakat umum Indonesia yang sudah sejak lama terbiasa dengan pola top-down menjadikan tingkat kekritisan masyarakat dalam perencanaan menjadi sesuatu yang perlu banyak dibenahi. Selain itu, kecenderungan apatisme masyarakat dalam menyikapi isu-isu yang seolah jauh dari kepentingan mereka juga menjadi sebuah tantangan klasik dalam pembangunan masyarakat yang partisipatif. Mudahnya, sangat sulit untuk mengharapkan masyarakat bicara mengenai tata ruang apabila untuk makan, memiliki mata pencaharian yang mapan, atau bahkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan saja masih menjadi beban masyarakat. Secara jujur, memang seperti itulah kondisi umum masyarakat Indonesia, dan perombakan sebuah paradigma tanpa diikuti pembenahan dalam hal-hal yang mendasar seperti ini hanya akan menemui jalan buntu. Maka langkah pembenahan itulah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat itu sendiri, termasuk didalamnya perencana.
Peran Perencana Pada Era Perencanaan Partisipatif di Indonesia
“... Dalam peperangan, jangan pergi berperang sebelum kau mengenali betul musuhmu, sebelum kau mengenal betul medan perangmu, dan hindarilah terjun dalam peperangan apabila kau tahu sebenarnya kau tidak mungkin bisa menang saat itu...”
-Sun Tzu, The Art of War-
Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, sangat sulit untuk merumuskan bagaimana perencana harus berperan. Akan tetapi satu hal yang nampaknya sudah semakin populer adalah bahwa situasi sudah berubah. Perencana tidak bisa lagi menempatkan dirinya sebagai kaum pakar yang seolah-olah mengetahui segalanya dan berhak untuk menentukan nasib masyarakat berdasarkan pengetahuannya itu, “sekarang kaum pakar tidak lagi mendapat tempat sebagai sentral dari penentuan sesuatu berdasarkan keahlian mereka semata, tanpa mau menerima berbagai perspektif dari lingkungan yang lebih luas.[10]”
Selama ini peran perencana berkembang, sesuai dengan logika perencanaan yang mendasarinya dan dalam konteks apa perencana itu bergerak. Beberapa peranan dari perencana itu antara lain[11] :
Perencana Teknis Administrasi, merupakan peranan tradisional perencana dalam konteks kepemerintahan, yaitu sebagai pakar teknis melayani kepentingan pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan implementasi maupun penyusunan rencana.
Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan politis dan berkomunikasi.
Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang dukungan politis dan administratif.
Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan, kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci sebagai fasilitator.
Semua peranan ini merupakan peranan-peranan yang memang seharusnya dijalankan oleh para perencana. Akan tetapi, proporsi dari pelaksanaan peran inilah yang selalu bervariasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu, dalam dimensi pergerakan sosio-kultural masyarakat yang selalu dinamis. Dan untuk saat ini, dimana iklim partisipatif mulai berhembus dengan kuat, pendekatan positivisme yang diambil para perencana seperti yang selama ini dijalankan pada masa orde baru menjadi tidak relevan lagi. Masyarakat mulai menyadari peran mereka, atau setidaknya mereka mulai sadar bahwa hal-hal yang digariskan oleh seorang perencana pada sebuah produk rencana akan mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Meskipun begitu, transisi ini tidak selalu berjalan dengan mulus. Kontrol masyarakat atas penyusunan sebuah rencana masih sangat kurang, sejalan dengan minimnya informasi akan proses penyusunan rencana tersebut. Ditambah lagi, ternyata faktor internal perencana juga seakan menjadi duri dalam daging. Paradigma perencanaan top-down dengan metoda positivisme yang telah bertahun-tahun berurat-berakar dalam mind-set dunia perencana tidak semudah itu untuk didekonstruksi.
Dalam abstraksi makalah “Demistifikasi Peran planner dan Pembangunanisme”[12], Sapei dengan lantang menyatakan bahwa “kekuatan politis dan kapasitas kepakaran seringkali menjadi juru tafsir utama dalam memaknai partisipasi. Tidak jarang keduanya hanya menafsirkan partisipasi sebagai pemenuh kebutuhan pengisian berita acara proyek-proyek yang memang dipesan harus dengan cara-cara partisipatif.” Apabila memang seperti ini yang terjadi, maka “participatory planning” hanya menjadi sebuah hiasan untuk melegitimasi produk-produk rencana dengan label “partisipatif”, dengan melupakan esensi dari konsepnya sendiri, yaitu untuk memperbaiki hubungan kekuasaan (politik) masyarakat, terutama golongan marjinal, terhadap elit penguasa.
Lebih jauh Sapei menjelaskan dalam makalahnya tersebut bahwa kelompok pakar seringkali menunjukkan keengganan untuk bisa bekerja sama dengan masyarakat, karena pola pikir bahwa perencana adalah seorang “pakar” yang paling mengetahui segala persoalan menjadi mind-set yang paling sulit untuk dicairkan. Artinya, hambatan untuk melaksanakan suatu proses perencanaan yang partisipatif justru juga datang dari kalangan perencana sendiri.
Dalam proses dekonstruksi mind-set tersebut, sebenarnya yang perlu untuk ditegaskan kembali adalah perlunya para perencana untuk merumuskan kembali peranan dan “posisi politis” mereka dalam konteks perencanaan yang partisipatif ini. Haryo Winarso dalam makalahnya “Perencanaan Dalam Era Transformasi”[13] mencoba merumuskan peranan perencana tersebut dan membaginya kedalam dua peranan besar, yaitu perencana sebagai manager perubahan dan perencana sebagai katalisator perubahan.
Perencana sebagai manager perubahan, dalam pengertian bahwa perencana berperan penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks keadaan ekonomi dan politik Indonesia (secara umum) yang belum stabil. Dalam keadaan seerti itu, kemampuan managerial sangat penting bagi seorang perencana. Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan yang stabil.
Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh slogan demokratisasi dan partisipasi semu. Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai katalisator akan meredam konflik dan memberikan “pencerahan” pada masyarakat. Perencana harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator perubahan.
Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya.
Peranan perencana ini tak pelak membutuhkan kemampuan lebih dari pihak perencana dalam hal politik, birokrasi, dan keahlian komunikasi. Peran sebagai manager mengharuskan perencana mempunyai kemampuan tidak hanya teknis birokratis, tetapi kemampuan komunikasi yang prima untuk meyakinkan orang yang berhubungan dengan dirinya (Forester, 1987).
Konklusi
”...Sesungguhnya tidak ada kata penutup, karena akhir dari sebuah wacana dan diskusi seharusnya menjadi awal dari sebuah tataran aksi...”
-Tim Civic Education, Satgas KM ITB untuk Pemilu RI 2004-
Peranan lebih perencana dalam era transformasi menuntut pihak perencana menjadi garda terdepan dalam membuat perubahan. Dan sejarah memang mencatat bahwa perubahan dimanapun selalu dimulai dan dimotori oleh middle class, atau kelas menengah dalam suatu sistem tatanan kehidupan. Apabila memang perencana ditempatkan dalam kelas menengah (diantara elit penguasa dan masyarakat yang termarjinalkan), maka tanggung jawab itu akan menjadi berat apabila pihak perencana belum mampu untuk mendekonstruksi mind-set atau paradigma perencanaan yang selama ini dianutnya.
Sudah saatnya paradigma positivisme yang menempatkan pihak perencana sebagai seorang yang “super” diganti menjadi paradigma pendekatan fenomenologis yang mendasarkan idenya pada kenyataan bahwa masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak pembangunan dan paling mengetahui apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, maka keterlibatan dan peran serta dari masyarakat menjadi suatu keniscayaan yang dibutuhkan.
Pendekatan ini memang akan mendatangkan dilema yang teramat besar bagi pihak perencana, dimana peran sebagai peneliti yang mendasarkan penelitiannya pada kaidah-kaidah keilmuan secara komprehensif harus dibenturkan pada peran politis sebagai pendamping, sahabat bagi masyarakat yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka pada pemerintah, yang mungkin terkadang tidak juga sesuai dengan kaidah-kaidah teknis. Disini etika seorang perencana akan teruji. Walaupun apa yang disebut dengan “etis” itu juga masih relatif, tapi kecenderungan berpikir seorang perencana akan sangat mewarnainya. Seorang perencana yang lebih berorientasi politis akan memiliki interpretasi yang lebih liberal mengenai standar etika dibanding mereka yang lebih berorientasi normatif. Tapi akan tetap ada kelompok ketiga dalam dunia perencana, yang memiliki integritas tinggi baik dalam dimensi teknis maupun politis, yang jatuh pada golongan “middle road planner.” Faktor-faktor lain seperti pandangan politik (political views) dan kemampuan untuk mengekspresikan nilai-nilai dalam profesinya juga akan dapat menjelaaskan perbedaan nilai etika tersebut[14]. Implikasinya nanti akan sangat terlihat pada teori, praktek, dan pembelajaran yang ditunjukkan oleh seorang perencana.
Apapun kecenderungan berpikir yang diambil oleh seorang perencana, satu hal yang pasti adalah sudah saatnya perencana menjadi pendamping masyarakat dalam usaha pemberdayaan masyarakat seperti yang selalu diidam-idamkan. Klaim netralitas dan ketidak-berpihakkan seperti yang selama ini secara naif dianut oleh perencana mungkin memang sudah saatnya digugat. Keberpihakan dalam suatu konteks politik (seperti yang banyak berpengaruh dalam dunia perencanaan) merupakan suatu keniscayaan. Tinggal sekarang perencanalah yang memutuskan arah keberpihakkannya itu. Paulo Freire[15] pernah menyatakan bahwa menyembunyikan kepentingan dalam “jaring laba-laba” segala macam teknik, atau mengelabuinya dengan mengklaim netralitas tidak berarti semua itu benar-benar netral. Bahkan sebaliknya, klaim teersebut justru merupakan sebuah bentuk mempertahankan status quo.
Sebagai penutup, penyusun ingin mengkerucutkan sekali lagi bahwa peran perencana adalah sebagai pihak yang memang belajar bersama masyarakat, pihak yang merangkul masyarakat dalam mencapai impian-impian yang selama ini termarjinalkan oleh kekuatan elitis, dan tak pelak hal itu membutuhkan ruang-ruang untuk bersikap kritis dalam kerangka keberpihakan terhadap masyarakat tersebut.
“Betul, semua ini seperti sebuah mimpi. Akan tetapi, semua yang besar dimulai dari satu mimpi yang kecil dan dilanjutkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Sekarang tinggal tergantung dari mau atau tidaknya kita untuk mewujudkan mimpi itu, karena sebenarnya tidak ada yang mustahil kalau apa yang diperjuangkan memang sesuatu yang besar kebaikannya. Insya Alloh, perjuangan ini tidak sia-sia… (Jakarta, 14 Juli 2003)”
Referensi
· Friedmann, John (1987), “Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action”, Princeton University Press, Princeton-New Jersey.
· Kraushar, R and Gardels, N, 1983, “Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits” in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.
Sapei, ST, “Demistifikasi Peran Planner Dalam Pembangunanisme”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
· Soegijoko, Budhy Tjahjati S., “Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia”, Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.
Winarso, Haryo, “Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
--------------------------------------------------------------------------------
Catatan :
[1] John Friedmann (1987), “Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action”, Princeton University Press, Princeton-New Jersey.
[2] Ilmu tentang “bagaimana” sebuah ilmu atau teori itu ditemukan. Suatu filsafat yang menjadikan persoalan penjelasan sebagai sentralnya. (Koesparmadi, “Mencari Domain Tata Ruang dan Memahami Dinamika Perubahan”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung 8-9 November 2001)
[3] Kraushar, R and Gardels, N, 1983, “Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits” in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.
[4] Healey, 1997, Colaborative Planning : Shapping Places in Fragmented Societies, Macmillan Press, London.
[5] Goulet, D (1986), “Three Rationalities in Development Decision-Making”. World Development vol 14, no 2, page 310-317.
[6] Paulo Freire, 1982, “Education for Critical Consciousness”, Continum, New York.
[7] Lihat Pembahasan John Gaventa dan Camilo Valderama: Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, sebagai pengantar buku Mewujudan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, yang diterbitkan oleh The British Council dan New Economics Foundation, 2001.
[8] Lihat Gaventa, op.cit..
[9] Branch, Melville C., “Perencanaan Kota Komprehensif”, 1995
[10]John Abbot, “Sharing The City : Community Participation in Urban Management”, Earthscan Publication Ltd., London.
[11] Soegijoko, Budhy Tjahjati S., “Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia”, Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.
[12] Disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001
[13] Disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001
[14] Howe, Elizabeth and Jerome Kaufman, “The Ethics of Contemporary American Planners”, Journal of The American Planning Vol. 45 No.3/1979.
[15] Paulo Freire, “Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”, Kerjasama Read dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
MEMPERTANYAKAN DOGMATISME PROFESI PERENCANA
MEMPERTANYAKAN DOGMATISME PROFESI PERENCANA
"Sebuah Tinjauan Mengenai Kondisi Keprofesian Dalam Dunia Perencanaan Di Indonesia dan Mandat Moral Yang Mengikutinya"
Seminar Nasional "Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Perubahan Multidimensi"
Memperingati 45 Tahun Pendidikan Planologi ITB
4 Desember 2004
Awan Diga Aristo ( NIM 15400008) Mahasiswa S1 Departemen Teknik Planologi ITB
Pengkategorian posisi perencana sebagai sebuah "profesi", dan bukan sekedar "pekerjaan", secara filosofis sebenarnya mensyaratkan terpenuhinya beberapa ciri definitif, baik dalam tataran konseptual maupun teknis. Satu konsep pemisahan menyebutkan bahwa kedudukan profesi menjadi berbeda dengan pekerjaan biasa karena ada perbedaan proporsi dalam "mandat moral" yang mengikutinya (Bickenbach-Hendler, 19981). Mandat moral inilah yang diemban oleh para profesional sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap masyarakat luas yang pada dasarnya turut melahirkan profesi tersebut. Dibalik kemapanan posisi perencana di Indonesia dengan keberadaan IAP (Ikatan Ahli Perencanaan), sebenarnya masih tersimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apakah kondisi ini sudah merupakan kondisi yang cukup kondusif bagi para perencana dalam mengemban mandat moral mereka. Atau bahkan apakah mandat moral dari para perencana di Indonesia itu sendiri ? Pertanyaan-pertanyaan ini secara luas dapat terus bergulir sampai pada gilirannya akan mempertanyakan kontribusi apakah yang telah diberikan oleh profesi perencana bagi masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Apabila pertanyaan-pertanyaan ini masih digantungi kegamangan dalam jawaban-jawabannya, maka mungkin eksistensi perencana di Indonesia sebagai sebuah profesi pun masih digantungi oleh kegamangan itu.
I. Pendahuluan, Kontekstualisasi Terminologi "Profesi"
"... Dalam peperangan, jangan pergi berperang sebelum kau mengenali betul musuhmu, sebelum kau mengenal betul medan perangmu, dan hindarilah terjun dalam peperangan apabila kau tahu sebenarnya kau tidak mungkin bisa menang saat itu..."
-Sun Tzu, The Art of War-
"The Moral Mandate Of The "Profession" Of Planning", sebuah esei yang ditulis oleh Jerome E. Bickenbach dan Sue Hendler pada tahun 1998. Dalam esei ini, Bickenbach dan Hendler menjabarkan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bidang-bidang pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi. Mereka kemudian mencoba menganalisis apakah kemudian perencana dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi dengan mengambil fokus pada kiprah dunia perencanaan di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Analisis mereka lebih lanjut kemudian mencoba mendefinisikan apa yang menjadi mandat moral dari profesi perencana.
Status perencana dalam dunia perencanaan di Indonesia sudah terlanjur mendapat cap sebagai salah satu "profesi" di masyarakat. Hal yang sering luput dari perhatian sebenarnya adalah apakah memang status perencana itu memang pantas untuk disebut sebagai sebuah profesi, atau bahkan apakah sebenarnya yang disebut dengan profesi itu. Pertanyaan ini secara filosofis akan mengarah pada hal-hal apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para profesional sebagai pelaku aktif dari profesi tersebut. Tanpa sebuah kajian mendalam mengenai hal ini, maka mungkin stempel keprofesian yang melekat pada status perencana dalam dunia perencanaan di Indonesia hanya digerakkan atas dasar mitos dan pemahaman semu akan keharusan untuk berkontribusi bagi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, maka sebuah restrukturisasi pemahaman akan diperlukan untuk mengevaluasi dan merumuskan arah atau fokus pengembangan dunia perencanaan di Indonesia.
merupakan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan pekerjaan biasa, dimana profesi berkaitan dengan benda sosial sebagai tujuan dan alasan keberadaannya, dan membutuhkan orang-orang yang menyebut dirinya profesional untuk bekerja keras mencapai tujuan yang lebih jauh. Profesi, dalam pengertian singkatnya, dikarakterisasi oleh adanya suatu mandat moral.
Lebih jauh, dalam analisisnya, Bickenbach dan Hendler kemudian memaparkan beberapa karakteristik yang menjadi persyaratan dari suatu pekerjaan atau kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi2 . Karakteristik-karakteristik tersebut adalah (Bickenbach-Hendler, 1998) :
- Suatu profesi haruslah muncul dari kumpulan orang-orang yang memiliki spesialisasi yang hanya diketahui dan dimengerti oleh beberapa orang saja, atau pengetahuan sistematis (atau keahlian maupun seni) yang tidak diketahui oleh umum atau tersedia untuk semua orang. Pengetahuan atau serangkaian keahlian inilah yang menjadi andalan seorang profesional. Hal yang membedakan suatu keahlian profesional bukan terletak pada kedalaman intelektualnya, tetapi eksklusivitasnya : tidak setiap orang yang menginginkan dapat menjadi bagian dari profesi ini. Jadi, seorang profesional ialah seseorang yang telah belajar (dan seringkali bekerja dalam jangka waktu yang lama untuk dapat belajar) mengenai kerangka maupun penjelasan suatu pengetahuan.
- Suatu profesi harus melibatkan komunitas yang terdiri dari individu-individu pembelajar, profesional yang membagi pengetahuan/visi umum mengenai nilai sosial dan rasional mengenai profesi mereka. Pembangunan komunitas ini akan secara tegas mengeksklusifkan kalangan profesional dengan tujuan untuk pengembangan keprofesian mereka. Dalam konteks inilah kemudian berkembang sebuah pemahaman terbatas bahwa profesi lebih dari sekedar pekerjaan, tetapi merupakan suatu bentuk kehidupan atau gaya hidup.
- Suatu profesi harus menyediakan pelayanan yang secara riil memberikan keuntungan bagi masyarakat, sejauh yang mereka promosikan, atau memberikan contoh, penjelasan pribadi mengenai benda sosial. Profesi menimbulkan sebuah status sosial tersendiri bagi para profesional, termasuk hak-hak istimewa tertentu dalam masyarakat, dengan meng-klaim ekskluisivitas kognitif mengenai keahlian profesional mereka. Tetapi, secara signifikan, klaim ini menjadi lemah kecuali apabila pelayanan yang bergantung pada keahlian mereka itu secara jelas dan demonstratif memberikan keuntungan bagi masyarakat. Status sosial dari kepemilikan profesional adalah sedemikian rupa merupakan hasil dari persepsi dimana kontribusi seseorang itu adalah sesuatu yang berharga/spesial bagi masyarakat, sesuatu yang masyarakat tidak dapat melakukan apa-apa tanpanya. Terkadang hal ini merupakan persepsi dimana suatu profesi bergantung pada struktur normatif; tanpa fondasi ini dalam benda-benda sosial, suatu profesi diduga akan kekurangan mandat moral yang penting bagi kelangsungan tuntutan terhadap status sosial profesional. Dalam konteks inilah, mandat moral suatu profesi menjadi sesuatu yang vital untuk didefinisikan.
- Suatu profesi haruslah berada di dalam pengawasan, serta berada dalam otonomi keahlian yang mendefinisikan kontribusi sosialnya terhadap masyarakat. Adalah krusial untuk menjaga kontrol terhadap komunitas suatu keprofesian itu dari dalam. Dengan kata lain, hanya seorang profesional yang mampu menaksir, mengesahkan dan berkontribusi dalam keahliannya. Selain dalam kerangka menjaga komunitas, otonomi dalam hal ini juga berarti otonomi atau kemandirian dalam hal pengimplementasian keahlian atau pengetahuan suatu profesi. Apabila kekuatan luar mampu mendikte siapa yang menjadi profesional atau apa yang perlu dimiliki suatu keahlan (apabila terdapat peraturan yang lengkap mengenai organisasi profesional), maka kita akan mendapatkan tekanan yang sangat berat untuk mendapatkan hasil dari profesi yang sebenarnya. Suatu profesi haruslah, apabila menghadapi tekanan eksternal, mampu mengembalikan kepada dirinya sendiri otoritas final melampaui keahliannya. Profesi harus memiliki derajat otonomi atau kemandirian dan pengakuan terhadap bidang keahliannya. Dalam hal inilah kemudian seorang profesional dapat mengklaim opini atau penilaian mereka sebagai sebuah "penilaian profesional" (professional judgement) yang harus diakui oleh mereka yang berada diluar keprofesian tersebut.
- Suatu profesi harus diorganisasikan sebagai asosiasi yang eksklusif, dengan mekanisme yang berada di tempat untuk mengamankan otonomi dari keahlian tersebut. Karakteristik ini kemudian biasanya diwujudkan dengan keberadaan sebuah organisasi atau asosiasi keprofesian yang mengatur segala urusan dalam sebuah komunitas keprofesian di suatu wilayah atau negara. Organisasi inilah yang kemudian secara resmi memiliki otoritas untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan eksistensi dan pengembangan dunia keprofesiannya di wilayah atau negara tersebut.
Sebenarnya, dalam kerangka pengertian atau definisi dari profesi itu sendiri ada cukup banyak referensi yang memaparkan persyaratan-persyaratan tersebut. Akan tetapi, karakteristik yang diungkapkan oleh Bickenbach dan Hendler ini penulis anggap paling general atau paling lengkap dan mencakup hampir semua karakteristik yang terungkap dalam referensi-referensi lain.
Profesi tradisional dari hukum, kesehatan dan teologi memenuhi semua kriteria diatas. Bagaimanapun banyak pekerjaan lain yang secara meningkat, karena menikmati keuntungan sosial yang diciptakan oleh pengklasifikasian pekerjaan tersebut ke dalam suatu profesi dan profesionalisme, berusaha memenuhi syarat tersebut. Demikianlah hal ini kemudian menimbulkan perdebatan mengenai status profesional dari perencanaan.
II. Menguji Ulang Status Ke-profesi-an Perencanaan di Indonesia
-NN-
Jerome E. Bickenbach dan Sue Hendler dalam makalahnya mencoba menguji apakah perencanaan dapat dikategorikan sebagai suatu profesi berdasarkan 5 (lima) syarat yang mereka anggap sebagai ciri-ciri utama dari suatu profesi. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa perencanaan memang dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi dengan catatan-catatan tertentu dalam setiap syarat tadi. Atau dengan kata lain, perencanaan hanya mampu memenuhi kelima syarat tadi dalam derajat-derajat tertentu yang tidak mutlak.
Akan tetapi, pemenuhan kelima syarat tadi juga sebenarnya akan sangat bergantung pada konteks ruang dan waktu dimana "ujian" atau pengamatan tadi dilakukan. Bickenbach dan Hendler mungkin dapat mengambil kesimpulan untuk konteks perencanaan di Amerika Serikat dan Kanada, tetapi tetap saja akan terlalu gegabah apabila kesimpulan itu digeneralisasi untuk perencanaan secara umum, termasuk untuk konteks Indonesia. Kondisi sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia jelas berbeda dengan di Amerika atau Kanada, dan paradigma yang populer untuk perencanaan di Indonesia saat ini juga mungkin berbeda.
Bagian ini akan mencoba mengupas kembali status keprofesian perencanaan di Indonesia, dengan mengacu pada lima ciri utama dari profesi seperti yang diungkapkan oleh Bickenbach dan Hendler.
1. Specialised Knowledge
Salah satu ciri utama yang membedakan antara profesi dengan pekerjaan biasa adalah bahwa profesi dibangun diatas suatu basis ilmu yang unik, spesial dan berbeda dengan disiplin ilmu lain. Basis ilmu inilah yang kemudian bisa membedakan dengan jelas antara satu profesi dengan profesi lain. Untuk itu, maka perencanaan juga pertama-tama perlu untuk mendefinisikan basis ilmu apakah yang bisa mendasari klaim keprofesiannya.
Menurut sejarahnya akar dari perencanaan adalah di bidang kesehatan publik, teknik sipil, arsitektur dan selanjutnya ilmu pengetahuan melengkapinya guna mencapai pengetahuan yang spesifik dan didasari oleh aspek tata guna lahan. Ketika perencanaan semakin matang, bagaimanapun hal ini mulai memperluas jangkauannya termasuk keragaman sosial, ekonomi dan isu-isu kesehatan yang muncul di lingkungan kota dan wilayah. Keragaman bidang ilmu dan keahlian yang mendasari perencanaan inilah yang menjadikan perencanaan seolah kehilangan pegangan dalam mendefinisikan basis ilmunya. Perencanaan membutuhkan apa yang disebut "dasar substantif" untuk membedakannya sebagai sebuah profesi, atau lebih tepatnya, untuk menutupi kekurangannya.
Dalam pemahaman yang ditumbuhkembangkan sampai saat ini, ilmu perencanaan dipahami sebagai sebuah ilmu yang multi-disiplin, gabungan dari berbagai ilmu lain. Meskipun diungkapkan bahwa pada awalnya basis ilmu perencanaan adalah ilmu guna lahan, tetapi perkembangan ilmu perencanaan saat ini sudah menyentuh demikian banyak ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial, sehingga tidak jelas lagi basis ilmu guna lahan tersebut. Ketidakjelasan ini kemudian memaksa organisasi-organisasi perencanaan di berbagai negara kemudian berusaha mendefinisikan sendiri rangkaian pengetahuan dan keahlian yang perlu dimiliki oleh perencana, sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Hal ini kemudian justru dapat dijadikan sebuah alasan mengapa perencanaan tidak bisa meng-klaim suatu keahlian yang unik atau khusus, karena keahlian itu tidak terlihat sebagai sebuah set keahlian yang -sebagai contoh perbandingan, ilmu hukum atau kedokteran- satu dan koheren. Sebaliknya, bidang perencanaan merupakan suatu keahlian yang multi-disiplin yang menuntut cakupan keahlian dan dasar ilmu pengetahuan yang cukup luas.
Untuk konteks Indonesia, kasusnya tidak jauh berbeda. Dalam buku "40 Tahun Pendidikan Planologi di Indonesia" yang diterbitkan oleh Departemen Planologi ITB disebutkan bahwa dasar dari ilmu perencanaan di Indonesia adalah perencanaan fisik, dan saat ini berkembang ke arah social science. Perkembangan ini membawa pendidikan perencanaan di Indonesia pada kegamangan yang sama mengenai basis ilmu, meskipun kami mengakui bahwa perkembangan itu sebenarnya merupakan perkembangan yang positif dalam pengertian bahwa pensinergian social science dengan ilmu-ilmu perencanaan fisik memang diperlukan oleh para perencana untuk dapat berkiprah dalam masyarakat.
Pada akhirnya, perencanaan mungkin hanya akan memenuhi persyaratan keunikan ilmu ini apabila ilmu "menggabungkan" atau "pencampuran" dari berbagai logika ilmu itu dapat dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang tersendiri. Dengan kata lain, apabila ada suatu disiplin ilmu yang intinya adalah bagaimana menggabungkan berbagai logika untuk suatu tujuan, maka disiplin ilmu itulah yang sebenarnya menjadi basis ilmu dari perencanaan. Tapi apakah memang ada ilmu semacam itu ? Atau dengan kata lain, apakah keahlian "pensinergisan logika" tadi memang bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri ? Perdebatannya memang sangat rumit dan sulit untuk disimpulkan. Adapun makalah ini tidak bermaksud untuk meninjau secara epistemologis untuk dijadikan titik terang dalam perkara ini. Terus terang, penyusun tidak memiliki metode penelitian dan referensi yang cukup untuk melakukannya. Lebih lanjut, akan lebih bijak apabila kita kemudian tidak membuat pembenaran-pembenaran dalam hal basis ilmu ini, sebelum memang ada sebuah kejelasan atau referensi yang cukup untuk mengkajinya
Konsekuensinya, sampai hal itu dilakukan, berarti secara umum memang perencanaan di Indonesia, sebagaimana dunia perencanaan secara umum juga belum bisa dikatakan memiliki basis ilmu yang jelas. Dengan kata lain, konsekuensinya, perencanaan di Indonesia masih belum bisa memenuhi persyaratan mengenai ilmu yang terspesialisasi ini.
Kesimpulan yang diambil disini cukup berbeda dengan kesimpulan yang diambil Bickenbach-Hendler, dimana merekamemilih opsi untuk membenarkan pemikiran bahwa "pensinergian logika" memang dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Konsekuensinya, dalam tingkatan tertentu, perencanaan dianggap dapat memenuhi persyaratan basis ilmu ini.
2. Initiation
Ciri inisiasi yang dimaksud adalah apakah perencanaan itu memiliki suatu komunitas pembelajar, dimana keanggotaan dari komunitas ini cukup eksklusif dan terbatas dalam pengertian memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh komunitas. Secara umum dapat kita katakan bahwa perencanaan mampu memenuhi persyaratan ini, dimana komunitas perencana merupakan suatu komunitas yang terbatas pada perencana-perencana yang telah memenuhi persyaratan akreditasi pendidikan tertentu dan telah menempuh tingkat pengalaman yang tertentu pula (walaupun perlu disadari sulitnya melakukan standardisasi tingkat pengalaman tersebut).
Untuk konteks Indonesia, penerimaan dan standardisasi keanggotaan dalam komunitas perencana ini diatur oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), contohnya dengan keberadaan Badan Sertifikasi Perencana (BSP) dalam tubuh IAP. BSP ini memberikan sebuah sertifikasi bagi para perencana di Indonesia sebagai sebuah bentuk pernyataan bahwa perencana yang bersangkutan memang mampu untuk menjalankan tugas dan perannya dalam masyarakat sesuai dengan standar IAP. Salah satu standar yang diterapkan adalah bahwa perencana yang bersangkutan telah menempuh pendidikan perencanaan. Bisa kita sebut bahwa seharusnya hanyalah perencana-perencana yang telah tersertifikasi inilah yang boleh berpraktek di Indonesia dan diakui oleh klien-kliennya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah memang pada kenyataannya seluruh perencana yang berpraktek di Indonesia memang perencana-perencana yang telah tersertifikasi atau minimal adalah anggota dari komunitas perencana di Indonesia yang disimbolkan dengan IAP. Selain itu, patut juga menjadi pertanyaan apakah ada perencana-perencana di Indonesia yang berpraktek atau diakui oleh kliennya tetapi tidak disertifikasi oleh BSP ini, atau bahkan apakah ada pihak-pihak yang menjalankan praktik-praktik perencanaan tetapi tidak berasal dari sebuah institusi pendidikan perencana. Yang lebih mendasar lagi, sejauh mana sertifikasi ini diakui oleh dunia perencanaan itu sendiri dan masyarakat "penggunanya" di Indonesia ? Terlepas dari kondisi riil yang terjadi sehubungan dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, tetap bisa kita akui bahwa setidaknya usaha-usaha untuk inisiasi itu sudah ada, dan berarti perencanaan di Indonesia memenuhi ciri profesi yang satu ini.
3. Societal Role
Peranan sosial merupakan satu ciri lain dari profesi, dalam konteks bahwa profesi ini harus memiliki satu tempat atau peranan dalam kehidupan masyarakat. Peranan sosial ini ternyata sangat bergantung pada konteks sosial politik masyarakat dimana perencana itu berada. Dengan kata lain, perencana di satu tempat dan waktu dengan tempat dan waktu lain sangat mungkin memiliki spesifikasi peran sosial yang berbeda. Salah satu cara termudah untuk mengidentifikasi peranan sosial perencana di satu tempat adalah dengan melihat kode-kode perencana yang berlaku di tempat itu.
Tujuan itu biasanya adalah memperjuangkan keadilan sosial dan perhatian terhadap kelestarian lingkungan. Misalnya, The Royal Town Planning Institute Code (RTPI 1986) secara jelas mengarahkan perencana Inggris untuk mengurangi diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan. Sedangkan The Code of The Canadian Institute of Planner (CIP 1986) membutuhkan perencana yang memastikan aspirasi-aspirasi kelompok yang tidak diuntungkan dapat terdengar sebanyak mungkin. Untuk bagian ini, The American Institute of Certified Planners Code (AICP 1981) mengingatkan perencana akan perlunya rencana untuk kelompok yang tidak diuntungkan, sebagaimana rencana kelestarian alam dan memperjuangkan keterlibatan warga.
Pendeknya, jika kode-kode ini dipercaya, kebutuhan sosial akan kelestarian alam dan kesetaraan sosial adalah tersirat dalam diri seorang perencana dan karenanya menjadi bagian pembentuk profesi. Lebih dalam lagi, kebutuhan sosial ini tetap dan tidak terpengaruh oleh iklim politik yang sedang berlangsung. Banyak perencana Afrika Selatan, misalnya, yang dituntun oleh semangat kesetaraan, pandangan anti apartheid, bahkan ketika politikus yang mempekerjakan memiliki jalan pikiran yang berbeda.
Apabila kita melihat kode etik perencana Indonesia versi IAP, dapat kita identifikasi juga peranan sosial yang harus dijalankan oleh perencana-perencana di Indonesia. Satu hal yang bisa kita sebut sebagai sebuah prasyarat dasar agar peranan itu dapat dijalankan secara optimal adalah harus ada suatu pemahaman dan pengetahuan yang cukup antara dua belah pihak, perencana dan masyarakat umum, mengenai peranan sosial masing-masing.
Kondisi masyarakat Indonesia berbeda dengan kondisi masyarakat Amerika atau Kanada atau negara-negara barat lain. Masyarakat negara-negara maju relatif sudah lebih memahami hak-hak dan peran sosial mereka, dan peran sosial yang mereka harapkan dari para perencananya. Sebaliknya, masih belum bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki pemahaman yang serupa. Mudahnya, pertanyaannya adalah apakah memang masyarakat mengetahui bagaimana seharusnya peranan perencana dalam kehidupan mereka ? Atau yang lebih mendasar, apakah sudah seluruh masyarakat mengetahui keberadaan dari dunia perencanaan itu sendiri ? Ini adalah sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar bodoh, tetapi apakah kita sudah yakin bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah "ya" ?
Apabila memang ternyata masyarakat belum mengetahui apa yang seharusnya dunia perencanaan (atau perencana) lakukan untuk mereka, lalu untuk siapakah para perencana melakukan peranannya itu ? Analoginya adalah apabila kita memiliki suatu tugas besar tetapi sebenarnya tidak ada yang memberikan tugas itu, dan pada akhirnya kita tidak tahu untuk siapa kita mengerjakan tugas itu karena pihak yang kita harapkan menggunakan hasil kerja kita justru bahkan tidak mengetahui keberadaan kita. Atau contoh lain, kita akan dengan sendirinya memutuskan untuk pergi berobat ke seorang dokter gigi apabila kita sakit gigi, karena kita sudah tahu profesi mereka dan mandat moral keprofesian mereka untuk mengobati gigi pasiennya. Para perencana di Amerika dan Kanada memiliki tanggung jawab pada masyarakat karena memang masyarakat berharap pada kemampuan mereka untuk turut berperan dalam kehidupan sosial, tetapi kita tidak bisa mengatakan hal serupa untuk perencana di Indonesia karena kita juga tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat Indonesia juga sudah memiliki harapan tertentu terhadap mereka.
Apabila kita berpedoman pada kode etik perencana seperti yang tertuang dalam dokumen IAP, mungkin bisa kita katakan bahwa dunia perencanaan di Indonesia mampu memenuhi ciri profesi yang satu ini. Akan tetapi untuk mengoptimalkan pemenuhan ciri ini secara riil, dunia perencanaan Indonesia memiliki tugas untuk dapat memasyarakatkan perencanaan itu sendiri, dan melakukan pembelajaran sosial secara luas untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perencanaan. Sebuah kewajiban yang sebenarnya juga sudah tertuang dalam kode etik perencana Indonesia versi IAP itu sendiri.
4. Autonomy
Otonomi seperti yang dimaksudkan oleh Bickenbach dan Hendler (1998) dapat dilihat dari dua pendekatan. Yang pertama adalah dari segi disiplin ilmu, dimana basis ilmu yang digunakan dalam perencanaan merupakan suatu basis ilmu yang unik dan merupakan satu-satunya ilmu yang dijadikan rujukan untuk menyikapi isu-isu yang berhubungan dengan perencanaan. Yang kedua adalah dari segi apakah kemampuan atau produk yang dihasilkan oleh perencana itu diakui oleh masyarakat secara umum dan kliennya secara khusus, dalam pengertian apakah klien dan masyarakat itu "tunduk" terhadap produk rencana yang dihasilkan (seperti halnya seorang pasien akan tunduk untuk memenuhi isi resep yang ditulis oleh dokternya). Bickenbach dan Hendler (1998) mengakui dan menyimpulkan bahwa perencanaan sebenarnya sangat sulit untuk memenuhi ciri ini, terutama dari pendekatan kedua dimana secara praktek yang terjadi justru seringkali sebaliknya, yaitu perencana dalam membuat suatu rencana seringkali tunduk pada keinginan kliennya atau harus memenuhi keinginan masyarakat agar masyarakat mau menerima produk rencana itu. Pendekatan pertama pun hanya bisa terpenuhi dengan "pembenaran" seperti yang telah diungkapkan pada ciri pertama (specialised knowledge), karena sekali lagi, kita masih belum bisa menegaskan apakah sebenarnya perencanaan itu memiliki basis ilmu yang diskrit dan unik atau tidak.
Perencanaan di Indonesia pun sebenarnya menemui kasus yang serupa, baik dari segi ilmu maupun pengakuan terhadap hasil rencana. Kekuatan dari perencana di Indonesia untuk "memaksakan" hasil rencananya pada masyarakat masih sangat lemah. Perencana mungkin cukup otonom dalam teknis penyusunan rencana, akan tetapi sama sekali tidak otonom dalam hal keputusan politis apakah rencana itu akan diterima atau tidak. Selain mungkin karena masih sangat kurangnya pemahaman sosial masyarakat mengenai urgensi perencanaan itu sendiri, sistem yang ada juga memang mengisyaratkan bahwa keputusan politik itu sepenuhnya terletak di tangan eksekutif pemerintahan (Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintah daerah) tanpa ada suatu peraturan yang mengharuskan pemerintahan itu untuk memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari perencana dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, tidak dapat kita pungkiri bahwa sedikit banya perencana juga seringkali berperan dalam pengambilan keputusan itu, dimana hal itu tergantung dari political good will pemerintahnya.
5. Self-Regulation
Ciri terakhir yang harus dimiliki oleh suatu profesi adalah kemampuannya untuk mengatur diri sendiri dalam pengertian memiliki suatu lembaga resmi yang mampu memayungi para profesional atau mereka yang bergerak dalam profesi itu. Lembaga ini harus mampu mengayomi dan menegakkan peraturan apabila ada anggotanya yang melanggar aturan-aturan yang telah digariskan untuk menjaga kelangsungan hidup profesi itu dalam masyarakat.
Dunia perencanaan di Indonesia telah memiliki IAP sebagai salah satu lembaga keprofesian itu. Dan IAP juga telah berusaha untuk melakukan fungsi-fungsinya sebagai sebuah lembaga keprofesian, diantaranya dengan usahanya untuk merumuskan kode etik perencana Indonesia dan membentuk suatu badan sertifikasi melalui BSP. IAP juga memiliki hak dan wewenang untuk memberikan sanksi bagi anggotanya (perencana) yang melanggar kode etik yang telah dirumuskan tersebut, meskipun pada kenyataannya memang kasus penjatuhan sanksi itu belum pernah terjadi di IAP.
Pertanyaannya sekarang adalah, meskipun IAP mungkin telah diakui secara nasional baik oleh masyarakat maupun oleh sebagian instansi pemerintahan, sejauh mana IAP telah diakui dan dirasakan manfaatnya oleh para perencanana Indonesia itu sendiri, dan sudah sejauh mana IAP mampu mengayomi dunia perencanaan di Indonesia secara riil ? Meskipun kode etik itu sudah ada, seberapa penting kode etik itu bagi para perencana di Indonesia dalam menjalankan praktiknya ? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup substansial karena mengingat meskipun keberadaan IAP secara de jure sudah cukup bagi dunia perencanaan di Indonesia untuk memenuhi ciri self regulation, akan tetapi secara de facto kita masih belum dapat mengambil kesimpulan serupa.
Dari uraian di atas mengenai pengujian ulang status keprofesian dunia perencanaan di Indonesia, kesimpulan yang bisa kita ambil mungkin adalah bahwa kita masih perlu meragukan dunia perencanaan di Indonesia sebagai sebuah profesi, mengingat derajat pemenuhan kelima ciri tadi relatif masih sangat rendah. Atau dengan kata lain, dunia perencanaan di Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi.
Keberadaan IAP mungkin menunjukkan bahwa perencanaan di Indonesia telah diakui sebagai sebuah profesi, tetapi tetap saja akan sangat absurd untuk menyatakan itu apabila hakikat profesi dipandang dari kelima ciri tersebut. Meskipun begitu, hal ini masih dapat berubah apabila IAP sendiri mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai sebuah lembaga keprofesian, terutama dalam hal pengayoman terhadap anggota (dan sebaliknya, para perencana di Indonesia juga harus memberikan perhatian lebih pada IAP dan kode-kode etik perencana yang telah digariskan oleh IAP) dan dalam hal pembelajaran sosial yang lebih luas kepada masyarakat mengenai dunia perencanaan. Hal ini juga harus diikuti dengan adanya penegasan mengenai basis ilmu perencanaan, terutama penegasan mengenai apakah ilmu yang inter-disiplin atau "ilmu mengenai pensinergian berbagai logika untuk mencapai suatu tujuan" dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu yang diskrit dan unik atau tidak.
III. Adakah Mandat Moral dari Perencanaan di Indonesia ?
-Benjamin Parker, dalam film Spideman"
Apabila memang hal utama yang menjiwai atau menjadi karakter dari suatu profesi adalah keberadaan suatu mandat moral, maka mungkinkah bisa kita katakan bahwa perencanaan di Indonesia sebenarnya tidak memiliki mandat moral itu ? Tentu, apabila kita ingin konsekuen dengan kesimpulan yang kita capai pada pembahasan sebelumnya, maka kita harus bisa berbesar hati untuk mengatakan itu.
Hal ini membawa kita pada pertanyaan lain lagi, yaitu benarkah bahwa mandat moral itu hanya dimiliki oleh sebuah profesi, dan mengapa pekerjaan biasa tidak ? Pertanyaan ini muncul karena meskipun kita telah menyimpulkan bahwa perencanaan di Indonesia belum bisa dikatakan sebagai sebuah profesi, ternyata kita masih belum bisa lepas dari paradigma bahwa sedikit banyak perencana itu tetap memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.
Lebih jauh lagi, merupakan sesuatu yang cukup diskriminatif apabila kita langsung menyetujui pernyataan bahwa hal utama yang membedakan profesi dengan suatu "pekerjaan biasa" adalah keberadaan mandat moral, dalam pengertian kita harus bisa mengakui bahwa pekerjaan-pekerjaan biasa (atau non-profesi) itu tidak memiliki tanggung jawab sosial mandat moralnya sendiri-sendiri. Meskipun memang disebutkan bahwa kedua hal tersebut, baik profesi maupun pekerjaan non-profesi, sama dalam hal keduanya harus dilakukan secara jujur dan kompeten oleh si pelakunya, akan tetapi tetap saja tidak bisa kita langsung menjustifikasi bahwa suatu pekerjaan biasa tidak memiliki pengaruh/dampak sosial dalam masyarakat seperti halnya suatu profesi. Keduanya tentu memiliki suatu tempat atau pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Akan menjadi hal yang berbeda lagi apabila kita bicara tingkatan atau sebesar apa pengaruh sosial itu. Dalam konteks ini mungkin bisa kita katakan bahwa dampak sosial, dan begitu juga kewajiban sosial dan mandat moral, dari suatu profesi relatif (dirasa) lebih besar dibanding suatu pekerjaan yang non-profesi.
Yang harus dijelaskan saat ini untuk menjawab pertanyaaan tersebut tergantung pada seberapa besar pemahaman kita mengenai peran perencanaan yang tepat dalam suatu struktur kota, atau fungsi perencanaan dalam proses politik, dan posisi perencana di dalam masyarakat yang kontemporer secara keseluruhan.
Sedikitnya ada 4 pendekatan untuk mendefinisikan tugas moral dari perencanaan (Bickenbach-Hendler, 1998). Pendekatan ini meliputi :
1. Pemeriksaaan terhadap konteks dalam fungsi perencanaan dan peran yang bisa dibangun.
2. Identifikasi terhadap nilai-nilai yang melekat pada perencana dan diwujudkan dalam pekerjaan mereka.
3. Analisis terhadap kode etik profesi perencana.
4. Kritik atau pendapat filosofis dalam "wadah" perencanaan sosial di mana perencana harus memenuhinya.
Setiap pendekatan yang diberikan di atas mewakili kelompok khusus dari pertimbangan etik secara profesional. Pendekatan pertama lebih mengacu pada posisi atau peranan politis perencana dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kita tahu bahwa posisi inipun berkembang secara dinamis dari masa ke masa. Friedmann (1987) dengan baik menggambarkan perkembangan posisi perencana ini, seiring dengan perkembangan logika perencanaan yang dianut pada masa itu. Friedmann melakukan suatu studi historis mengenai berbagai dialektika peran perencana dengan logika-logika yang melatarbelakanginya. Menurut paparannya, perkembangan logika perencanaan setidak-tidaknya terbagi kedalam empat tipe, yaitu planning as social reform, planning as policy analysis, planning as social learning dan planning as social mobilization.
Logika planning as social reform menempatkan perencanaan sebagai bagian dari aparatur negara. Dalam hal ini, perencana diposisikan sebagai teknokrat yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak harus memperhatikannya. Ide dasar reformasi sosial adalah bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial.
Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) bertujuan untuk menyajikan pilihan dan menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan. Para perencana diposisikan sebagai seorang analis dan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada tanpa ada tendensi untuk melakukan perubahan relasi kekuasaan.
Tradisi lain yang kemudian muncul adalah planning as social learning. Bagi tradisi ini, pengetahuan bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktek. Retorikanya adalah learning by doing. Ide utama tradisi social learning ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.
Tradisi keempat, tradisi logika mobilisasi sosial, merupakan sebuah tradisi yang sangat kontras dengan tradisi reformasi sosial. Tradisi ini memandang perencanaan sebagai panduan sosial, sangat berbeda dengan perencanaan sebagai perubahan struktur dan sebagai transformasi sosial. Tipe perencanaan seperti itu dinamakan perencanaan radikal. Oleh karena itu, posisi dan peran perencana sangat ditentukan oleh logika-logika perencanaan yang radikal pula. Dan peran-peran perencana menurut perencanaan radikal itu termasuk menyediakan catatan-catatan kritis atas situasi saat ini menuju suatu perubahan, membantu komunitas dan kelompok yang siap bergerak menemukan solusi-solusi praktis untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, mendorong penguatan kapasitas komunitas untuk menemukan strategi-strategi yang akurat dan membantu komunitas untuk merumuskan kembali aspek-aspek teknis dari solusi-solusi untuk perubahan. Yang lebih penting dari peran-peran tersebut adalah perencana harus memiliki komitmen secara ideologis untuk mendorong terjadinya transformasi pada komunitas dan tidak pernah membuat jarak dengan komunitas tersebut.
Dengan mencermati berbagai perkembangan logika perencanaan di atas, satu hal yang dapat disarikan adalah bahwa memang dunia perencanaan itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat yang ada didalamnya. Logika perencanaan inilah yang pada gilirannya akan menjadi nilai-nilai (value) yang dipegang oleh perencana dalam menjalankan peranannya. Hal ini terkait dengan pendekatan kedua dalam menentukan mandat moral dari perencana.
Fenomena yang terlihat di Indonesia saat ini adalah bahwa bandul pemikiran dunia perencanaan dan kebijakan publik telah bergerak ke arah tradisi pembelajaran sosial dan mobilisasi sosial. Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, sangat sulit untuk merumuskan bagaimana perencana harus berperan. Selama ini peran perencana di Indonesia berkembang, sesuai dengan logika perencanaan yang mendasarinya dan dalam konteks apa perencana itu bergerak. Beberapa peranan dari perencana itu antara lain (Soegijoko, Budhy Tjahjati S., "Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia", Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002) :
• Perencana Teknis Administrasi, merupakan peranan tradisional perencana dalam konteks kepemerintahan, yaitu sebagai pakar teknis melayani kepentingan pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
• Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan implementasi maupun penyusunan rencana.
• Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan politis dan berkomunikasi.
• Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang dukungan politis dan administratif.
• Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan, kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
• Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci sebagai fasilitator.
Yang kemudian perlu untuk ditegaskan kembali adalah perlunya para perencana di Indonesia untuk merumuskan kembali peranan dan "posisi politis" mereka dalam konteks perencanaan yang partisipatif. Haryo Winarso dalam makalahnya "Perencanaan Dalam Era Transformasi" (Disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001) mencoba merumuskan peranan perencana tersebut dan membaginya kedalam dua peranan besar, yaitu perencana sebagai manager perubahan dan perencana sebagai katalisator perubahan.
a. Perencana sebagai manager perubahan, dalam pengertian bahwa perencana berperan penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks keadaan ekonomi dan politik Indonesia (secara umum) yang belum stabil.
Dalam keadaan seerti itu, kemampuan managerial sangat penting bagi seorang perencana. Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan yang stabil.
b. Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh slogan demokratisasi dan partisipasi semu. Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai katalisator akan meredam konflik dan memberikan "pencerahan" pada masyarakat. Perencana harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator perubahan.
Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya. Saat ini, mungkin itulah peran dan sekaligus mandat moral yang dapat dijalankan oleh perencana Indoneisa.
Akan tetapi, apabila kita kembali pada konteks keprofesian, akan menjadi sesuatu yang rancu apabila mandat moral dan peranan dari sebuah profesi dapat sedemikian dinamis berkembang dan karenanya bisa membutuhkan proses redifinisi yang cukup dinamis pula.
Jalan tengah kemudian dapat diambil apabila kita menggunakan pendekatan ketiga dalam penentuan mandat moral itu. Analisis terhadap kode etik akan mengungkapkan logika dan nilai-nilai apa yang dianut oleh komunitas perencana di sebuah negara.
Apabila kita melihat kasus di berbagai negara, ternyata kode etik di berbagai negara itu berbeda satu sama lain. Kebanyakan studi mengenai nilai-nilai perencana telah dicantumkan dalam karakteristik suatu negara oleh pendekatan liberal yang adil terhadap aspek sosial, politik dan ekonomi. Ketika nilai kesetaraan sosial, demokrasi dan keadilan sebaik kesatuan lingkungan, menjadi nilai-nilai yang paling sering muncul pada kode etik perencanaan di berbagai negara (Bickenbach-Hendler, 1998), muncul satu pertanyaan dari temuan-temuan yang tergeneralisasi tersebut.
Sementara profesi hukum, pengobatan, dan arsitektur melibatkan beberapa set nilai yang secara umum konsisten dimanapun di belahan dunia, apakah hal yang sama berlaku untuk (nilai-nilai) perencanaan ? Bagaimanapun, kenyataan bahwa cukup banyak variasi nilai atau value yang dianut oleh para perencana di berbagai belahan dunia sudah cukup untuk menjadi indikasi awal bahwa nilai-nilai yang dianut dalam perencanaan ternyata tidak kebal terhadap politik, geografis, dan perbedaan budaya.
Di Indonesia, kode etik itu disediakan oleh IAP. Dalam kode etik perencanaan di Indonesia tersebut, tercantum dengan jelas bahwa praktik perencanaan di Indonesia harus mengutamakan kepentingan masyarakat atau publik, dalam pengertian bahwa suatu produk rencana harus disusun untuk membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Satu kerancuan yang kemudian terlihat adalah bahwa kode etik yang disusun oleh IAP tersebut secara umum memperlihatkan kecenderungan orientasi pada penyusunan suatu produk rencana pembangunan fisik. Sementara, apabila memang kecenderungan logika yang sedang berkembang di Indonesia adalah perencanaan yang sifatnya partisipatif sebagai sebuah bentuk pembelajaran sosial, bukankah pembelajaran sosial itu lebih mengutamakan proses dan penguatan masyarakat ketimbang sebuah produk akhir rencana ? Kondisi ini dapat diartikan sebagai dua hal. Pertama adalah penambahan mandat moral bagi perencana di Indonesia, dan yang kedua adalah sebaliknya, ada bias dalam penentuan mandat moral itu.
Cara keempat dan terakhir untuk mengidentifikasi mandat moral perencanaan adalah dengan pembangunan kritik filosofis dan argumen rasional. Secara umum, konsepsi seperti ini nampaknya belum pernah dilakukan di Indonesia. Kalaupun pernah, dokumentasi terhadapnya nampaknya tidak terlalu baik. Selama ini, mandat moral perencanaan di Indonesia kemudian dianut secara common sense, tetapi sekali lagi, kita belum pernah melihat adanya sebuah kesepakatan bersama mengenai pembangunan argumentasi itu.
IV. Penutup
-Tim Civic Education, Satgas KM ITB untuk Pemilu RI 2004-
Peranan lebih perencana dalam era transformasi menuntut pihak perencana menjadi garda terdepan dalam membuat perubahan. Dan sejarah memang mencatat bahwa perubahan dimanapun selalu dimulai dan dimotori oleh middle class, atau kelas menengah dalam suatu sistem tatanan kehidupan. Apabila memang perencana ditempatkan dalam kelas menengah (diantara elit penguasa dan masyarakat yang termarjinalkan), maka tanggung jawab itu akan menjadi berat apabila pihak perencana belum mampu untuk mendekonstruksi mind-set atau paradigma perencanaan yang selama ini dianutnya.
Perubahan itu mungkin akan lebih terarah kita jalankan apabila memang komunitas perencana di Indonesia ini juga mulai fokus dalam menentukan bagaimana sebenarnya posisi dan peranan mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, perencana juga akan bisa fokus dalam memberikan manfaat atau kontribusi bagi masyarakat dalam pembangunan.
Salah satu alasan mengapa kita masih selalu gamang dalam mengkategorikan perencanaan sebagai sebuah profesi adalah ketidakjelasan kita mengenai basis ilmu perencanaan, mengingat perencanaan memang harus disokong oleh ilmu-ilmu yang inter-disiplin. Akan tetapi, apabila kita setuju dengan pernyataan sebelumnya bahwa mandat moral itu didasari oleh suatu basis ilmu yang dipelajari seseorang, kita mungkin akan menemukan bahwa sebenarnya mandat moral dari perencanaan itu ternyata justru banyak, lebih dari satu, sebanyak jumlah disiplin ilmu yang dipelajari dalam perencanaan itu. Ditambah lagi, terlepas dari apakah memang perencana itu dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi atau tidak, seorang perencana tentu tidak bisa melepaskan kewajiban-kewajiban moral normatif yang dibawanya sebagai seorang manusia dan sebagai bagian dari masyarakat.
Kalaupun kita ingin memaksakan untuk setidaknya mencari sebuah titik terang yang dapat mendasari pencarian kita akan mandat moral perencana secara universal, maka bisa kita sarikan dari pembahasan diatas bahwa hal yang mungkin menjadi titik temu dari semua logika dan nilai-nilai diatas hanyalah "kepentingan publik". Meskipun begitu, terminologi ini pun dapat sedikit banyak menyesatkan mengingat hal-hal atau nilai-nilai yang terkait dengan apa yang kita sebut domain publik (Friedmann, 1987) dan kepentingan publik itu bisa begitu banyak atau bahkan saling bertentangan.
Pemikiran mengenai perencanaan dan bagaimana seharusnya kontribusi sosial seorang perencana dalam masyarakat akan terus berkembang dan kita tidak dapat memprediksi kapan ia akan berakhir. Akan tetapi, mungkin justru dalam konteks inilah mandat moral perencana yang paling substantif muncul. Mungkin memang mandat moral perencana itu adalah untuk menjadi pihak yang selalu bergulat dalam pertentangan antar nilai. Pergulatan itu akan terjadi didalam dirinya, didalam komunitasnya, dan pada akhirnya akan berpengaruh pada masyarakatnya. Dalam konteks domain publik inilah kemudian mandat moral itu dapat kita sarikan, yaitu untuk bergelut dalam pertentangan antar nilai yang pasti terjadi dalam setiap proses pengambilan keputusan publik. Toh, tentu harus ada sebagian kecil dari masyarakat yang mengambil peran dan tanggung jawab itu. Bisakah pemahaman ini menjadi sebuah modal bagi perencana dan dunia perencanaan secara umum untuk meraih klaim atas status sebagai sebuah profesi ?
Referensi
• Bickenbach, Jerome E. and Sue Hendler, "The Moral Mandate of The ‘Profession’ of Planning", Values and Planning, 1998
• Calavita, Nico and Roger Caves, "Planners’ Attitudes Toward Growth : A Comparative Case Study", Journal of the American Planning Aassociation, Vol.60, No.4, American Planning Association, Chicago, 1994
• Friedmann, John (1987), "Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action", Princeton University Press, Princeton-New Jersey. • Howe, Elizabeth and Jerome Kaufman, "The Ethics of Contemporary American Planners", APA Journal, American Planning Association, Chicago, July 1979
• Howe, Elizabeth, "Normative Ethics in Planning", Journal of Planning Literature Vol. 5, No.2, Sage Publications, November 1990
• Kraushar, R and Gardels, N, 1983, "Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits" in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.
• Sapei, ST, "Demistifikasi Peran Planner Dalam Pembangunanisme", Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
• Soegijoko, Budhy Tjahjati S., "Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia", Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.
• Winarso, Haryo, "Perencanaan Dalam Era Transformasi", Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
Good University Governance
Awan Diga Aristo
15400008, Teknik Planologi ITB
Bab I
Pendahuluan
Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, perlu mulai ditelaah secara mendalam. Hal ini menjadi urgen setelah dalam praktiknya, status BHMN ternyata memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi. Tantangan-tantangan baru ini merupakan aspek-aspek yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri di Indonesia, termasuk bagaimana menumbuhkan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif, pengelolaan keuangan, kebebasan lebih besar dalam merumuskan kurikulum dan hal-hal lain yang terkait dengan bidang akademis, akuntabilitas publik dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan mengenai bagaimana konsep penyelenggaraan institusi perguruan tinggi yang dianggap cukup ideal untuk menghadapi tantangan-tantangan baru tersebut. Konsep tersebut, apapun bentuknya, nampaknya harus memperhatikan pelibatan dan pemenuhan kebutuhan dari seluruh stakeholders (pihak yang berkepentingan) yang terkait dengan institusi perguruan tinggi, mengingat peranan ideal pendidikan tinggi bagi sebuah bangsa yang sangat vital dalam menelurkan calon putra-putra terbaiknya dan memperhatikan bahwa lingkungan perguruan tinggi merupakan sebuah komunitas yang relatif kritis (atau perlu terlatih untuk menjadi kritis) terhadap permasalahan-permasalahan disekitarnya.
Adapun salah satu konsep yang saat ini sedang menjadi mainstream dalam penyelenggaraan perguruan tinggi adalah konsep good university governance. Konsep ini sebenarnya merupakan turunan dari konsep tata kepemerintahan yang lebih umum, yaitu good governance. Tulisan ini disusun untuk mencoba memberikan sebuah wacana dalam mencoba memahami konsep good university governance tersebut, dengan harapan jangka panjang bahwa masyarakat kampus mampu tergerak untuk berusaha lebih memahami dan ikut kritis dalam memberikan masukan-masukan menuju penyelenggaraan perguruan tinggi (dalam konteks ini Institut Teknologi Bandung) yang lebih baik.
Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba untuk turut memberikan sebuah bahan pemikiran dalam perdebatan mengenai apakah pendidikan tinggi itu dapat digolongkan sebagai sebuah public goods atau private goods. Perdebatan ini menjadi sebuah wacana yang jawaban-jawabannya akan mendasari bagaimana seharusnya manajemen penyelenggaraan perguruan tinggi yang baik dan bagaimana seharusnya pihak perguruan tinggi menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara.
Sekali lagi, tulisan ini disusun tidak untuk memaksakan sebuah argumentasi atau pemikiran kepada pihak lain, melainkan dimaksudkan untuk menjadi sebuah bahan pemikiran bagi semua pihak yang merasa berkepentingan dengan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi di Indonesia, untuk kemudian bersama-sama merumuskan bagaimanakah seharusnya kita menempatkan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi tadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini akan dibagi kedalam dua episode, dimana episode pertama akan membahas mengenai Good university governance, dan episode kedua akan membahas perdebatan mengenai apakah pendidikan tinggi itu dapat digolongkan sebagai public goods atau private goods.
Bab II
Good university governance :
“Sebuah Pemahaman Awal Mengenai Pengertian dan Bagaimana Seharusnya Implikasinya dalam Penyelenggaraan Perguruan Tinggi”
Good governance
Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.
Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan dalam makalah ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.
Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
Menurut Leach & Percy-Smith (2001) government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat menangkap makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
Mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.
Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Apabila diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan pengurangan tingkat korupsi, pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing karakteristik :
1. Participation
Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi
lain.
2. Rule of law
Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.
3. Transparency
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.
4. Responsiveness
Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.
5. Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.
6. Equity and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.
7. Effectiveness and efficiency
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.
8. Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.
Good university governance
Pada awalnya, konsep good governance memang muncul dalam tataran korporasi dan institusi perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan konsep good governance dalam dekade terakhir telah ditumbuhkan (oleh lembaga-lembaga donor internasional) menjadi sebuah konsep untuk dapat dipahami dalam konteks yang luas dan dijadikan dasar dalam menyusun konsep-konsep baru untuk institusi-institusi tertentu dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasarnya. Konsep-konsep turunan tersebut kemudian salah satunya bahkan menyangkut penyelenggaraan korporasi, yaitu good coorporate governance, yang sebenarnya merupakan perbaikan dari prinsip-prinsip governance korporasi tradisional yang pada hakikatnya justru merupakan inspirator dari konsep good governance.
Adapun yang perlu kita pahami adalah munculnya dua konsep tadi, good governance dan good coorporate governance, dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa pengelolaan sebuah negara tidak dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah korporasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat dan tujuan dasar pembentukan kedua institusi tadi, dimana pengelolaan sebuah negara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sementara sebuah korporasi dibentuk untuk meraup keuntungan.
Perbedaan sifat ini tidak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam penyelenggaraan keduanya, dengan modifikasi-modifikasi tertentu untuk mengakomodasi sifat-sifat dan tujuan dasarnya masing-masing. Prinsip-prinsip itu diantaranya akuntabilitas, transparansi, rule of law, dan sebagainya.
Lantas bagaimana dengan institusi perguruan tinggi ?
Apakah penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi ? Apabila kita lihat sifat dan tujuan dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi di suatu negara, kita bisa dengan cukup tegas mengatakan tidak.
Pada dasarnya, pendidikan tinggi yang pada praktiknya dijalankan oleh institusi perguruan tinggi dimaksudkan untuk dapat menjadi komunitas kaum intelektual suatu bangsa. Komunitas intelektual ini kemudian diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan inovasi-inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa, termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan peranan dan harapan yang besar inilah kemudian anggota komunitas pendidikan tinggi kemudian mendapat posisi yang terhormat di tengah masyarakat. Gelar sebagai seorang sarjana merupakan gelar yang dipandang terhormat di tengah masyarakat. Inilah arti pendidikan tinggi di tengah masyarakat tradisional. Contohnya dapat kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina dan Mesir pada zaman dahulu, dimana gelar keserjanaan merupakan gelar yang mendapat posisi tinggi di tengah masyarakat. Di kedua bangsa itu, kita juga melihat perguruan tinggi menjadi basis pengembangan kebudayaan dan teknologi, contohnya budaya sastra di Cina.
Secara tradisional, peranan institusi perguruan tinggi berfokus pada transfer atau konservasi ilmu pengetahuan (knowledge) dan diharapkan untuk menjadi komunitas yang memegang teguh nilai-nilai (values) yang dianggap ideal atau dijunjung tinggi suatu bangsa. Ia diharapkan menjadi sebuah komunitas yang mampu melindungi dirinya dari kooptasi nilai-nilai lingkungan diluarnya yang mungkin korup atau mengandung keburukan. Inilah yang mendasari perlunya status independensi atau otonomi perguruan tinggi. Selain itu, sebuah kebebasan atau independensi juga diperlukan untuk mendukung terwujudnya inovasi atau perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kebebasan itu juga kemudian menyentuh individu-individu yang tercakup dalam komunitas tersebut, karena pada hakikatnya, inovasi dan pemikiran itu bukan dihasilkan oleh institusi, melainkan individu-individu didalamnya.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, peranan tradisional ini dianggap justru terlalu menempatkan institusi perguruan tinggi seperti sebuah menara gading yang terpisah, eksklusif dari masyarakat. Dalam paham yang lebih modern, peranan perguruan tinggi mengalami penambahan dalam hal peranan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Menghadapi transformasi ekonomi, teknologi dan kondisi sosial yang sangat cepat, pendidikan tinggi dituntut untuk lebih menyeimbangkan peranannya sebagai pusat intelektual sekaligus menjaga agar tetap relevan dengan kondisi sosial di sekitarnya atau kondisi sosial bangsa yang menaunginya. Output dari perguruan tinggi diharapkan bukan hanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap kerja, tapi lebih dari itu, menjadi agen-agen bangsa yang sanggup mengelola dan mengarahkan perubahan di bangsa itu.
Dengan dasar tujuan demikian, maka pengelolaan sebuah institusi perguruan tinggi tidak mungkin disamakan dengan pengelolaan sebuah negara maupun korporasi. Ada koridor-koridor tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur (values), baik dalam hal akademik maupun social values yang harus dijaga didalamnya. Sementara hal-hal lain dalam penyelenggaraannya harus ditempatkan sebagai means atau alat untuk mendukung pencapaian tujuan dasar tersebut.
Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi. Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.
Implementasi Good university governance
Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam hal stakeholders yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan perguruan tinggi.
Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi kemudian adalah mengenai academic excellence dan manajemen perguruan tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam penerapan good university governance.
Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal prinsip-prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat. Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal manajerial menjadi cukup besar.
Beberapa negara seperti austria bahkan menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara negara-negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat diantara kedua ekstrim tadi.
Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence (yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan mandiri.
Good university governance dalam Konteks Status BHMN Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia
Setelah era reformasi tahun 1998 yang diikuti dengan diterimanya IMF sebagai lembaga donor di Indonesia, wacana good governance mulai mengemuka. Bersamaan dengan itu, cukup banyak persyaratan yang diajukan oleh IMF dalam menyalurkan pinjamannya. Salah satunya adalah otonomi perguruan tinggi.
Pemerintah kemudian menawarkan status Badan Hukum Milik Negara pada lima perguruan tinggi negeri di Indonesia yang dinilai sudah cukup siap untuk mengadopsi status tersebut. Tawaran yang diajukan mencakup otonomi yang lebih luas dalam hal penentuan kebijakan akademik bagi PTN-PTN tersebut. Otonomi akademik ini juga diikuti oleh otonomi manajerial dan pembiayaan.
Wacana good university governance sepertinya telah menjadi sebuah wacana umum yang cukup menarik untuk diadopsi dalam pencarian bentuk governance yang baik untuk PTN-PTN tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan good university governance ini, terutama dalam hal penerapan prinsip-prinsip atau karakteristik dasarnya.
1. Penentuan stakeholders.
Inti dari proses governance yang baik adalah bagaimana hubungan antar stakeholders didalamnya. Untuk itu, maka kita terlebih dahulu perlu mendefinisikan siapa para stakeholders tersebut. Stakeholder pertama adalah warga kampus, yaitu manajer eksekutif, mahasiswa, dosen, karyawan, dsb. Yang kedua adalah pihak-pihak diluar PTN yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberadaan PTN. Kelompok stakeholders kedua ini berarti termasuk negara sebagai institusi yang menaungi PTN, masyarakat umum, calon mahasiswa baru, sektor swasta dan sebagainya. Masyarakat secara umum merupakan entitas yang mendasari munculnya pendidikan tinggi, dan pada dasarnya pendidikan tinggi dibangun untuk mengabdi pada masyarakat, tidak hanya untuk membekali individu-individu dalam memperoleh pekerjaan yang layak baginya. Penyelenggara PTN pada hakikatnya harus mampu memberikan pertanggungjawaban pada seluruh stakeholders ini.
2. Pendefinisian peranan dan tanggung jawab masing-masing stakeholders.
Hal ini harus didahului dengan pembangunan kesadaran dalam diri seluruh stakeholders bahwa mereka memiliki kepentingan dan karenanya harus turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan PTN. Dalam konsep BHMN, lembaga yang mungkin dapat disebut sebagai Dewan PTN atau representasi dari seluruh stakeholders adalah MWA (Majelis Wali Amanat) masing-masing PTN. MWA inilah yang kemudian harus berperan sebagai pihak yang mampu mengelola dan mengarahkan perubahan-perubahan atau pembangunan di PTN-nya.
3. Partisipasi.
Partisipasi atau pelibatan aktif dari seluruh stakeholders merupakan sesuatu yang vital dalam penyelenggaraan governance yang baik. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila dari pihak stakeholders sendiri memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dan ada kesempatan atau fasilitas yang terbuka seluas mungkin untuk itu. Kesempatan dan fasilitas ini harus disediakan oleh pihak penyelenggara perguruan tinggi (Dalam hal ini MWA dan manajer eksekutif atau jajaran rektorat). Partisipasi atau pelibatan ini harus terbuka dalam setiap langkah dalam proses pembangunan atau penyelenggaraan perguruan tinggi. Artinya, usaha pelibatan harus mulai dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selama ini, dalam praktiknya, usaha pelibatan atau kesempatan partisipasi hanya diberikan pada tahap implementasi sebuah program, sementara belum tentu seluruh stakeholders menyetujui program tersebut. Yang lebih parah lagi, “kesempatan” itu seringkali lebih bersifat sosialisasi program dari rektorat pada stakeholders. Seluruh stakeholders sudah harus mulai diberi kesempatan berpartisipasi sejak awal perencanaan program-program dan sasaran kedepan. Hal ini penting untuk menjaga komitmen seluruh stakeholders dan menjadi basis legitimasi program-program pembangunan.
4. Penegakkan hukum.
Pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi tidak mungkin dapat berjalan dengan kondusif apabila tidak ada sebuah hukum atau peraturan yang ditegakkan dalam penyelenggaraannya. Aturan-aturan itu, berikut sanksi-sanksinya, hendaknya merupakan hasil konsensus dari stakeholders, untuk meningkatkan komitmen dari semua pihak untuk mematuhinya. Aturan-aturan itu dapat disusun dalam bidang akademik maupun non-akademik. Yang perlu diperhatikan adalah aturan yang dibuat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan stakeholders untuk berekspresi, melainkan untuk menjaga keberlangsungan pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi dengan seoptimal mungkin.
5. Transparansi.
Transparansi atau keterbukaan merupakan sebuah prasyarat dasar untuk menunjang adanya partisipasi dan menjaga akuntabilitas institusi. Proses partisipasi memerlukan ketersediaan informasi yang memadai dan kemudahan bagi seluruh stakeholders dalam mengakses informasi tersebut. Selain itu, transparansi memungkinkan seluruh stakeholders untuk dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja institusi. Dalam hal anggaran atau keuangan, transparansi ini menjadi sangat urgen terutama dalam era BHMN, mengingat arus perputaran uang dalam institusi perguruan tinggi menjadi lebih besar dan kompleks. Akan tetapi, transparasi ini hendaknya tidak hanya dalam hal anggaran, melainkan seluruh dinamika yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan perguruan tinggi.
6. Responsivitas.
Sifat responsif ini dapat kita bagi dalam dua konteks. Pertama, pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) harus mampu menangkap isu-isu dan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan PTN tersebut. Mereka harus mampu merespon harapan-harapan stakeholders dan menyikapi permasalahan yang terjadi. Yang kedua, dalam konteks yang lebih luas, PTN secara institusi harus mampu bersikap responsif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan mempu bertindak atau berpartisipasi untuk menyikapinya. Pada dasarnya, pendidikan tinggi harus mampu responsif untuk menyikapi permasalahan-permasalah di bangsa yang menaunginya dan selalu berusaha untuk memenuhi harapan-harapan dan amanat yang diembannya dari masyarakat.
7. Orientasi pada konsensus.
Proses pengambilan segala keputusan atau kebijakan dalam penyelenggaraan PTN hendaknya mengutamakan konsensus atau kesepakatan dari stakeholders.
8. Persamaan derajat dan inklusivitas.
Seluruh prinsip-prinsip tadi hanya mungkin terwujud apabila ada satu kesepahaman mengenai persamaan derajat (equity) setiap entitas stakeholders. Artinya, paradigma yang dipakai bukanlah hierarkikal atau ada satu kelompok yang derajatnya lebih tinggi dibanding kelompok lain. Sebaliknya, paradigma yang dipakai adalah persamaan derajat dan adanya pemahaman bersama bahwa perbedaan antar stakeholders sebenarnya terletak pada peranan, tanggung jawab, dan amanat yang diemban. Dengan begitu akan tercipta rasa saling menghargai dan menghormati antar stakeholders, mengingat penyelenggaraan PTN tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu dari peran masing-masing stakeholders tidak berfungsi. Selain itu, perlu dihilangkan kesan eksklusif, terutama dari MWA dan rektorat sebagai pihak yang diserahi amanat dan kewenangan untuk memimpin dan me-manage penyelenggaraan PTN, agar tercipta rasa kepemilikan dan komitmen yang besar dari semua stakeholders dan menciptakan pola hubungan yang baik antar stakeholders.
9. Efektifitas dan efisiensi.
Output dari seluruh proses penyelenggaraan atau program-program yang digariskan harus tepat sasaran (efektif) atau sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholders. Yang terutama adalah efektif dalam menunjang fungsi-fungsi pendidikan, khususnya dalam hal peningkatan mutu akademik dan riset. Selain itu, penyelenggaraan PTN juga harus efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya.
10. Akuntabilitas.
Institusi PTN harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh rangkaian proses penyelenggaraan PTN terhadap seluruh stakeholders, baik internal maupun eksternal, terutama pada masyarakat umum. Pertanggungjawaban ini dapat dilakukan secara rutin dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam hal anggaran setiap tahun perlu dilakukan proses audit, baik audit internal maupun audit eksternal yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil audit maupun laporan pertanggungjawaban lain harus dengan mudah dapat diakses oleh seluruh stakeholders. Selain itu, untuk mendukung akuntabilitas ini, prinsip transparansi juga harus diterapkan dengan benar.
11. Values yang harus dijunjung tinggi PTN.
Seluruh prinsip ini harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tujuan dasar yang dianut dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan diterapkan untuk menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi dasar perguruan tinggi. Perguruan tinggi mengemban amanat dan harapan yang besar dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga penyimpangan dari nilai-nilai ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanat dan harapan itu.
Secara umum, ini merupakan prinsip yang harus diikuti dalam penyelenggaraan PTN apabila kita memang secara konsisten ingin menerapkan konsep good university governance. Aplikasi dari prinsip-prinsip ini sebenarnya secara luas dapat ditempatkan dalam hampir semua konteks permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan PTN. Mungkin akan lebih baik apabila kita mengambil sebuah contoh. Dalam tulisan ini, mari kita coba membahas mengenai masalah biaya pendidikan (SPP).
PTN-PTN di Indonesia yang telah mendapat status BHMN saat ini menghadapi permasalahan dan tantangan baru dalam hal pembiayaan penyelenggaraannya. Biaya penyelenggaraan PTN-PTN tersebut yang sebelumnya sebagian besar bergantung pada subsidi pemerintah disyaratkan untuk mulai beralih pada usaha mandiri PTN sendiri. Jumlah subsidi memang tidak berkurang. Akan tetapi, seiring dengan otonomi akademik tadi, PTN-PTN berusaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kegiatannya. Hal ini tentu menyebabkan meningkatnya biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan PTN. Mudahnya, biaya penyelenggaraan PTN terus meningkat dari tahun ke tahun sementara jumlah subsidi dari pemerintah tetap. Gap atau selisih antara subsidi pemerintah dan total anggaran yang meningkat inilah yang kemudian memaksa manajemen PTN untuk berusaha mencari sumber-sumber pendanaan baru yang lebih mandiri.
Apabila kemudian PTN tersebut ingin menerapkan konsep good university governance, maka yang pertama kali harus dilakukan oleh pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) adalah mendefinisikan stakeholders atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pembiayaan penyelenggaraan PTN. Mengingat pada dasarnya MWA merupakan sebuah lembaga perwakilan stakeholders, maka yang harus dilakukan oleh MWA adalah turun ke basis massanya masing-masing untuk meminta pendapat atau aspirasi dari basis massanya. Setelah itu, baru stakeholders secara luas diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk menyikapi permasalahan ini. Mereka diajak untuk turut memikirkan mulai dari tahap identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi program-program yang berjalan.
Meskipun yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan akhir adalah rektorat dan MWA, akan tetapi tetap harus diingat adanya persamaan derajat antara mereka dengan stakeholders lain. Inklusivitas menjadi urgen untuk dapat menampung aspirasi seluas mungkin. Arus informasi harus dibuka lebar-lebar untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang terjadi pada stakeholders.
Setelah kebijakan mengenai program-program atau langkah-langkah penyelesaian masalah diambil, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah mengevaluasi apakah kebijakan itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai luhur pendidikan yang harus dijunjung tinggi oleh perguruan tinggi. Misalnya, apabila keputusannya adalah menaikkan SPP, maka harus diperhitungkan berapa pengaruh kenaikan itu untuk anggaran PTN, dan apa pengaruh kenaikan SPP itu bagi masyarakat yang akan menanggungnya dan apa pengaruhnya bagi dunia pendidikan secara umum.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas harus terus dilakukan. Stakeholders dapat dengan mudah mengakses informasi-informasi mengenai anggaran dan keuangan institusi PTN. Hal ini akan memudahkan semua pihak untuk memantau tingkat efektivitas dan efisiensi program yang dijalankan serta efektifitas dan efisiensi anggaran. Stakeholders juga memiliki akses dan kesempatan untuk memberikan masukan atau evaluasi selama program berjalan. Yang harus diingat adalah apabila program atau kebijakan yang diambil telah melalui konsensus stakeholders, maka seluruh stakeholders harus berkomitmen untuk menjalankan kebijakan tersebut, sesuai perannya masing-masing. Sebaliknya, apabila ada yang salah dalam proses pengambilan keputusan itu, maka tidak ada kewajiban bagi stakeholders untuk berkomitmen atau mendukung kebijakan tersebut.
Ini merupakan sebuah contoh penerapan good university governance dalam menyikapi permasalahan pembiayaan PTN. Langkah-langkah dan prinsip-prinsip dalam contoh ini dibiarkan tetap berada dalam tataran normatif atau tidak terlalu teknis mengingat memang tidak ada tataran teknis yang baku dalam konsep good university governance. Tataran teknis ini baru akan terlihat tergantung konteks dan konsensus dari stakeholders.
Bab III
Penutup
Good university governance merupakan sebuah konsep yang muncul karena kesadaran bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi memang tidak dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi. Yang membedakannya adalah nilai-nilai luhur pendidikan yang harus dijaga dalam pelaksanaannya. Dengan begitu, maka ukuran apakah suatu perguruan tinggi telah menerapkan good university governance atau tidak adalah sampai sejauh mana perguruan tinggi tersebut mampu menyikapi dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraannya tanpa mengkhianati nilai-nilai luhur tadi dan amanat yang diembannya dari masyarakat, bangsa dan negara yang menaunginya.
Tulisan ini pada dasarnya tetap dibiarkan terbuka dan bersifat normatif karena tujuan pembuatannya memang bukan untuk memberikan doktrin teknis atau menutup kemungkinan untuk perkembangan di masa depan. Tulisan ini dibuat agar kita mampu memahami prinsip-prinsip dasar dalam good university governance, dan dengan demikian memacu kita untuk bersama-sama memikirkan, bagaimana sebenarnya bentuk yang terbaik untuk perguruan tinggi yang paling dekat dengan kita, ITB.
Untuk ITB yang lebih baik... Untuk Indonesia yang lebih baik...
Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater... Merdeka !!!
Referensi
1. Bradley AO., Dennis, Prof. University Governance-Governing What ?. Makalah yang disampaikan pada Business Higher Education Round Table Conference, November 2003
2. Effendi, Sofian. Membangun Good Governance : Tugas Kita Bersama. Prosiding Seminar Nasional Meluruskan Jalan Reformasi.Universitas Gadjah Mada, 25-27 September 2003
3. International Monetary Fund. The Role of the IMF in Governance Issues: Guidance Note. IMF Executive Board, July 25, 1997)
4. Osborne, David; Ted Gaebler. Reinventing Government. Reading, Addison-Wesley, 1992.
5. Public Universities and Challenges in Years Ahead, “BUDIMAN 59 - Suara Universiti Malaya” tahun ke 25, ISSN 0126-7949
6. Recomendations for Good University Governance in Denmark, report by the committee “University Boards in Denmark”, 2003
7. Sjahrir. Dr. “Good Governance di Indonesia Masih Utopia : Tinjauan Kritis Good Governance”. Jurnal Transparansi Edisi 14/Nov 1999 . Masyarakat Transparansi Indonesia, 1999
8. Stevenson, Michael Dr.. University Governance and Autonomy Problems in Managing Access, Quality and Accountability. Keynote Address to ADB Conference on University Governance. Denpasar, Indonesia, April 26, 2004
9. Sumarto, Hetifah Sj.. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2003
10. Woods, Ngaire. “The Chalenge of Good Governance for the IMF and the World Bank Themselves”. World Development Vol. 28 No. 5. Great Britain, 2000
11. http://worldbank.org