Wednesday, August 03, 2005

Rejuvinasi Peran Perencana Dalam Menghadapi Era Perencanaan Partisipatif

Rejuvinasi Peran Perencana
Dalam Menghadapi Era Perencanaan Partisipatif
“Sebuah Tahapan Awal dalam Pembentukan Kultur Masyarakat Partisipatif”


Awan Diga Aristo (15400008)
Teknik Planologi ITB

Disampaikan Dalam :
Seminar Tahunan ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia)
Universitas Brawijaya, Malang
Juli 2004


Abstraksi
Peran perencana dalam era Perencanaan Partisipatif dipertanyakan kembali. Masihkah Seorang perencana berkutat dalam paradigma positivisme dan komprehensivitas teknis belaka? Makalah ini mencoba merumuskan peranan apa yang sebaiknya diambil oleh para perencana dalam menghadapi era perencanaan partisipatif yang pelaksanaannya sendiri masih menemui kendala-kendala yang cukup mendasar. Perumusan peran yang baik akan menentukan posisi politis perencana dalam masyarakat dan lebih jauh lagi akan menentukan arah dan kecenderungan dalam dunia perencanaan di Indonesia.


Latar Belakang


“... Dalam mencari informasi dari seseorang, hindarilah pertanyaan ‘Apa masalahnya’, melainkan tanyakanlah ‘Bagaimana ceritanya’. Hanya dengan begitu kita akan dapat menganalisis permasalahan secara menyeluruh...”

-John Forrester, 1998-



Dalam dunia perencanaan dewasa ini, paradigma baru yang berkembang seiring dengan era otonomi daerah adalah paradigma perencanaan partisipatif (participatory planning). Produk-produk rencana di berbagai daerah mendapat gugatan karena rencana itu dinilai tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Tetapi ada juga produk-produk rencana yang dibuat dengan hanya memperhatikan aspirasi masyarakat secara murni sehingga terkesan meninggalkan kaidah-kaidah akademis.

Keduanya bukan merupakan cerminan dari suatu proses perencanaan yang “benar”, dalam pengertian bahwa mungkin paradigma yang dianut perencana dalam proses perencanaan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya iklim partisipatif dalam perencanaan, masyarakat mulai tersadarkan bahwa mereka adalah bagian terpenting dalam proses itu, dan oleh karenanya pelibatan dan partisipasi aktif mereka juga menjadi sesuatu yang esensial.

Hal ini menjadi sebuah dilema baru bagi perencana, sekaligus memaksa perencana untuk merumuskan kembali peranan mereka dalam proses perencanaan itu. Peranan inilah yang nantinya akan menentukan posisi mereka dalam peta perpolitikan yang terjadi dalam konteks perencanaan. Dan secara pragmatis, hal ini jugalah yang akan menentukan, apakah profesi perencana masih menjadi profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak.



Perencana dalam Perkembangan Logika


Dunia perencanaan bukanlah sebuah dunia yang stagnan atau tidak berkembang. Sebaliknya, dunia perencanaan akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itulah, logika-logika yang mendasari peran, fungsi dan posisi perencana dalam dunia perencanaan juga selalu berkembang. Kedinamisan inilah yang menyebabkan relung perencana selalu diwarnai kegamangan didalamnya.

Kondisi ini digambarkan oleh John Friedmann (1987)[1] melalui studi yang dilakukannya. Friedmann melakukan suatu studi historis mengenai berbagai dialektika peran perencana dengan logika-logika yang melatarbelakanginya. Menurut paparannya, perkembangan logika perencanaan setidak-tidaknya terbagi kedalam empat tipe, yaitu planning as social reform, planning as policy analysis, planning as social learning dan planning as social mobilization.

Logika planning as social reform merupakan tradisi yang paling awal dan terbesar dalam sejarah perencanaan. Berkembang pada paruh kedua abad sembilan belas dan berawal dari revolusi Perancis, tradisi ini kemudian berlanjut kepada karya beberapa ahli sosiologi dan ekonomi politik besar abad ini seperti Max Weber, Karl Mannheim, Rexford G. Tugwell, Charles Lindblom, Amitai, dan sebagainya. Reformasi sosial yang dimaksud menempatkan perencanaan sebagai bagian dari aparatur negara. Perhatian utamanya adalah kepada upaya menemukan cara paling efektif bagi negara dalam membuat rencana. Dalam hal ini, perencana diposisikan sebagai teknokrat yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak harus memperhatikannya. Ide dasar reformasi sosial adalah bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial. Tradisi ini mencoba mengarahkan masyarakat dari atas, dengan mengasumsikan bahwa masyarakat biasa tidak cukup tahu untuk terlibat dalam perencana.

Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi informasi yang disebut sibernetika. Logika ini muncul kurang lebih dalam masa antara Krisis Malaise (1930-an) sampai pasca Perang Dunia Kedua. Para penganut logika ini meyakini bahwa solusi yang tepat akan muncul dari analisis data yang ilmiah.. Tujuan utama analisiss kebijakan adalah penyajian pilihan dan menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan. Para perencana diposisikan sebagai seorang analis dan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada tanpa ada tendensi untuk melakukan perubahan relasi kekuasaan. Sama halnya dengan tradisi pertama, dalam tradisi ini masyarakat juga diposisikan sebagai obyek dari perencanaan.

Tradisi lain yang kemudian muncul adalah planning as social learning. Pembelajaran sosial ini lebih bersandar pada nilai-nilai epistomologi[2]. Ia berawal dari kritik terhadap hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi tradisi ini, pengetahuan bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktek. Retorikanya adalah learning by doing. Pendukung utama dari aliran ini adalah Jhon Dewey, yang mengkonsepkan bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi merupakan bentuk politik ilmiah. Secara konservatif, ide Dewey ini diadaptasi oleh para teoretisi pengembangan organisasi, yang mengaplikasikannya dalam pengendalian korporasi. Secara revolusioner, ide Dewey ini ditumbuhakan di China oleh Mao Tse Tung. Disini Mao menempatkan perspektif social learning sebagai perluasan dari tradisi mobilisasi sosial (tradisi keempat dalam perencanaan).Ide utama tradisi social learning ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.

Tradisi keempat, tradisi logika mobilisasi sosial, merupakan sebuah tradisi yang sangat kontras dengan tradisi reformasi sosial. Mobilisasi sosial merupakan sebuah tradisi perlawanan yang berkembang dari interaksi kaum utopian, anarkis dan Marxis. Pekerjaan utama dari tradisi ini adalah emansipasi kemanusiaan dari penindasan sosial. Konsekuensinya adalah senantiasa berhadapan dengan segala kekuatan yang menindas, dan oleh karenanya menjadi sangat kental dengan gerakan-gerakan perjuangan, baik dengan kekerasan maupun tidak, baik bersifat politis maupun tidak, baik bersifat revolusioner maupun bersifat reformis. Yang menjadi prinsip utama dari tradisi ini adalah “tidak ada kelompok yang benar-benar bebas sampai kebebasan tersebut benar-benar diperoleh seluruh kelompok.”

Tradisi keempat ini memandang perencanaan sebagai panduan sosial, sangat berbeda dengan perencanaan sebagai perubahan struktur dan sebagai transformasi sosial. Tipe perencanaan seperti itu dinamakan perencanaan radikal. Oleh karena itu, posisi dan peran perencana sangat ditentukan oleh logika-logika perencanaan yang radikal pula. Dan peran-peran perencana menurut perencanaan radikal itu termasuk menyediakan catatan-catatan kritis atas situasi saat ini menuju suatu perubahan, membantu komunitas dan kelompok yang siap bergerak menemukan solusi-solusi praktis untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, mendorong penguatan kapasitas komunitas untuk menemukan strategi-strategi yang akurat dan membantu komunitas untuk merumuskan kembali aspek-aspek teknis dari solusi-solusi untuk perubahan. Yang lebih penting dari peran-peran tersebut adalah perencana harus memiliki komitmen secara ideologis untuk mendorong terjadinya transformasi pada komunitas dan tidak pernah membuat jarak dengan komunitas tersebut.

Dengan mencermati berbagai perkembangan logika perencanaan di atas, satu hal yang dapat disarikan adalah bahwa memang dunia perencanaan itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat yang ada didalamnya. Sebagai sebuah logika, sebenarnya keempat logika yang diuraikan di atas akan tetap bertahan sampai kapanpun. Perkembangan yang kedepannya akan terjadi, apabila bukan penambahan logika baru, adalah perputaran penggunaan logika-logika itu atau perkembangan kemampuan dari para perencana untuk menentukan logika mana yang akan lebih banyak berperan, sesuai kondisi yang ada saat itu.



Perencanaan dalam Domain Publik


Bagaimanapun dan apapun logika perencanaan yang digunakan dalam dunia para perencana, satu hal yang tetap tidak berubah adalah bahwa domain perencanaan adalah dalam domain publik (Friedmann, 1987), mengingat memang dimensi yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dunia perencanaan adalah menyangkut kepentingan-kepentingan dalam relung publik. Oleh karenanya, kepentingan perencanaan juga adalah untuk mengatur pertumbuhan sehingga nilai sosial yang didapat akan maksimal, atau paling tidak, social distrubtion minimised (Kraushaar dan Gardels, 1983[3], dan Healey, 1997[4]).

Menurut Goulet[5], setidak-tidaknya ada tiga rasionalitas yang saling ber-inter-relasi dalam penentuan keputusan-keputusan publik, yaitu technological rationality, politican rationality dan ethical rationality. Technological Rationality bersandar pada epistemologi ilmu modern yang mengedepankan logika efisiensi. Sementara politican rationality merupakan logika kepentingan yang selalu mengedepankan pemeliharaan institusi dan kebijakan. Lebih jauh dari itu, pada realitasnya seringkali motif-motif pemeliharaan institusi dan kebijakan itu menjadi alasan yang menyelubungi motif-motif mempertahankan kekuasaan dan mencari keuntungan. Dan ethical rationality lebih menekankan pada pencitaan, pemeliharaan atau mempertahankan norma-norma. Biasanya norma-norma itu menyangkut norma universal seperti agama dan norma-norma yang dikonstruksi oleh pengalaman, posisi sosial dan pandangan dari seseorang atau sekelompok orang.

Secara normatif, seorang perencana harus mampu untuk mengintegrasikan ketiga rasionalitas itu secara harmonis dalam menjalankan peran profesionalnya (professional role). Akan tetapi, akan tetap menjadi sebuah pertanyaan besar apabila seorang perencana dihadapkan pada pertentangan pada ketiga nilai tersebut. Adalah sesuatu yang sangat naif apabila ketiga rasionalitas tadi dianggap akan selalu berjalan beriringan. Nilai-nilai etika memang akan sangat bergantung pada mind-set dan faktor-faktor yang membentuk seorang perencana secara dogmatis. Akan tetapi rasionalitas teknis dan politis merupakan dua rasionalitas yang perkembangannya jauh lebih cepat dibanding nilai-nilai etis, mengingat kedua rasionalitas itu merupakan dua hal yang akan sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural masyarakat dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Artinya, kedua rasionalitas itu bisa berubah secara sekuensial atau bahkan responsif terhadap apa yang terjadi. Keduanya bahkan bisa saling bertentangan.

Hal-hal yang secara teknis normatif “benar” menurut perencana belum tentu well accepted atau dianggap “benar” oleh masyarakat. Konteksnya menjadi sesuatu yang politis. Konteksnya bukan lagi menjadi apakah sesuatu itu benar atau salah, akan tetapi lebih kepada apakah sesuatu itu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. Perbedaan persepsi antara perencana dengan masyarakat itu bisa disebabkan oleh banyak hal, yang salah satunya adalah tingkat kesadaran masyarakat.

Paulo Freire[6] mengungkapkan bahwa ada tiga jenis kesadaran masyarakat yang akan sangat berpengaruh pada cara atau bagaimana masyarakat menilai suatu permasalahan. Kesadaran yang pertama adalah kesadaran magis, dimana masyarakat tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran yang kedua adalah kesadaran naif, dimana masyarakat beranggapan bahwa “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah sosial. Kesadaran ketiga adalah kesadaran kritis, dimana masyarakat memandang aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Maka pandangan masyarakat secara umum akan bergantung dari jenis kesadaran mana yang dimiliki masyarakat atau sejauh mana ketiga jenis kesadaran itu saling mempengaruhi dalam masyarakat.

Dilema selalu muncul apabila pendekatan normatif komprehensif perencana ternyata tidak sesuai dengan keinginan atau apa yang dianggap “benar” oleh masyarakat. Hal ini akan selalu terjadi selama ada kesenjangan pengetahuan dan pemahaman antara perencana dengan masyarakat. Kesepahaman itulah yang seharusnya terbangun melalui pembelajaran-pembelajaran sosial dalam hal perencanaan. Tapi ironisnya, pembelajaran itu jugalah yang paling minim terlihat dalam masyarakat. Bukan karena masyarakat tidak mau, tapi karena baru sangat sedikit pihak yang mau belajar bersama masyarakat.

Dan seringkali dilema itu akhirnya mencuat dan bermuara pada proses pengambilan keputusan dalam perencanaan. Secara ekstrim pilihan dalam pengambilan keputusan itu akan menjadi “being right” (menjadi benar) atau “doing good”(bertindak baik). Being right dalam hal ini berarti mengambil keputusan sesuai dengan dasar-dasar teknis keilmuan yang dimiliki seorang perencana secara komprehensif. Sementara doing good bisa berarti mengambil keputusan yang sekiranya akan diterima dengan baik (well accepted) oleh masyarakat, terlepas dari apakah keputusan itu sesuai dengan kaidah keilmuan atau tidak.

Dalam sebuah pameo, perbandingan antara seorang peneliti dengan seorang politisi tergambar dengan cukup baik dengan menyebutkan bahwa “seorang peneliti bisa saja salah dalam melakukan penelitian, akan tetapi ia harus jujur dalam menyampaikan hasil penelitiannya itu, sementara seorang politisi bisa saja tidak jujur akan tetapi ia tidak boleh salah dalam mengambil keputusan.” Tidak menjadi sesuatu yang aneh apabila ada saat-saat tertentu dimana seorang perencana harus memilih antara menjadi seorang peneliti atau menjadi seorang politisi, karena sebuah produk rencana yang secara teknis benar tetapi tidak mau dilaksanakan oleh masyarakat akan menjadi tidak bermakna, sama berbahayanya dengan sebuah produk rencana yang disetujui dan dilaksanakan oleh masyarakat akan tetapi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan. Kemampuan untuk mengambil jalan tengah di antara dua pilihan itu menjadi sebuah syarat bagi seorang perencana untuk bisa survive dalam domain publik.



Tipologi Partisipasi


Gaventa dan Valderama ((Gaventa-Valderama, 1999) mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu partisipasi politik (Political participation), partisipasi sosial (Social Participation) dan partisipasi warga (Citizen Participation/Citizenship)[7]. Partisipasi politik lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

Dalam partisipasi sosial, partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

Sementara partisipasi warga (citizenship) menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderama menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”[8]. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran. Untuk konteks Indonesia, salah satu contoh bentuk partisipasi warga diantaranya adalah dibentuknya Dewan Pendidikan Kota (DPK) di kota-kota besar yang memang tugasnya adalah menentukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan formal di kota tersebut. Konsep DPK ini sebenarnya mengacu pada bentuk city councils di negara-negara barat yang umumnya memang dibentuk secara sektoral dan anggotanya diambil dari masyarakat yang memang berkompeten di bidang terkait.



Perencanaan Partisipatif di Indonesia : Sebuah Gambaran


”...Akan selalu ada jarak antara idealisme dan kenyataan. Yang harus terus kita perjuangkan adalah bagaimana memperkecil jarak itu di zaman kita, sehingga bisa menjadi dasar bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan di zaman mereka...”

-NN-



Fenomena yang terlihat di Indonesia saat ini adalah bahwa bandul pemikiran dunia perencanaan dan kebijakan publik telah bergerak ke arah tradisi pembelajaran sosial dan mobilisasi sosial seperti yang diutarakan oleh Friedmann. Prakarsa-prakarsa baru mulai berkembang dalam masyarakat seiring dengan mulai dibukanya ruang-ruang partisipasi bagi masyarakat dan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Terkait dengan perkembangan paradigma perencanaan itu, sejak bergulirnya era reformasi 1998, Indonesia telah memulai berbagai inisiatif yang dirancang untuk memperbaiki sistem tata pemerintahan dan desentralisasi, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas. Sebuah proses konsolidasi demokrasi tentu membutuhkan lebih dari sekedar pergantian Presiden atau manuver-manuver politik yang dilakukan di tingkat elit. Ia membutuhkan adanya pendalaman nilai-nilai kemasyarakatan yang mendukung kerja sama dan partisipasi dalam sebuah civil society. Ia juga membutuhkan adanya suatu keterbukaan dan rasa saling percaya antara pemerintah dengan masyarakat. Inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan kebijakan publik dalam mendukung sebuah bentuk demokrasi partisipatorik sangat diperlukan. Inovasi-inovasi ini harus mampu mendukung terwujudnya sebuah proses yang partisipatif. Lebih jauh dari itu, inovasi ini juga harus mampu membangun sebuah pembelajaran publik sebagai prasyarat bagi publik untuk mampu berkontribusi

Setidaknya ada lima paradigma baru yang menyebabkan perubahan dan perkembangan pola pikir dalam perencanaan yang juga menyebabkan perubahan pada produk-produk rencana di Indonesia. Kelima paradigma tersebut adalah :

Pertumbuhan perekonomian global
Orientasi pembangunan
Kemitraan pemerintah dan masyarakat (Public-Private Partnership)
Perkembangan sistem dan teknologi informasi
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

Paradigma kemitraan pemerintah dan masyarakat yang pada awalnya secara sempit diartikan sebagai kemitraan pemerintah-swasta dalam pembangunan ternyata mencuatkan kembali sebuah nilai/norma dasar dalam perencanaan yang selama ini seolah terlupakan, yaitu prisip partisipastif dalam perencanaan. Dalam perencanaan yang partisipatif (participatory planning), masyarakat dianggap sebagai mitra dalam perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi rencana, karena walau bagaimanapun masyarakat merupakan stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.

“Perencanaan tidak dapat efektif, kecuali bila dilakukan dengan pengenalan, pemahaman, dan pemanfaatan struktur kekuatan pemerintah dan non-pemerintah”[9]. Dari kata-kata ini, dapat kita tangkap bahwa sebenarnya hal yang utama dalam memadukan unsur-unsur pemerintah dan non-pemerintah (termasuk masyarakat) adalah proses pengenalan, pemahaman, dan pemanfaatan struktur diantara keduanya. Pembangunan komitmen, identifikasi pelaku (stakeholders), identifikasi kondisi partisipasi, dan identifikasi kapasitas pelaku menjadi prasyarat dasar sebelum perencanaan melangkah lebih jauh.

Untuk konteks Indonesia secara umum, pembangunan prasyarat-prasyarat itu menjadi sesuatu yang masih harus dipelajari, dikaji, dan terus coba dibangun, karena pada kenyataannya tingkat ideal dari prasyarat-prasyarat itu masih terasa begitu mengawang-awang. Kesadaran yang mulai terbangun bahwa manusia, masyarakat sebagai salah satu stakeholder utama yang membentuk sebuah kota, wilayah, kawasan, atau singkatnya, kegiatan, merupakan subyek sekaligus obyek dari perencanaan itu sendiri ternyata tidak diimbangi dengan pembangunan pengetahuan maupun sarana-sarana dimana masyarakat itu dapat menyalurkan aspirasinya itu. Artinya, paradigma partisipatif yang sedang dicoba untuk diterapkan itu menemui hambatan justru dalam hal kapan, untuk apa, dan bagaimana seharusnya masyarakat itu menyalurkan aspirasinya. Bukan berarti bahwa wahana atau kesempatan itu tidak ada. Akan tetapi lebih pada hal apakah masyarakat mengetahuinya atau tidak, apakah masyarakat itu cukup memiliki pengetahuan untuk berperan dalam perencanaan atau tidak, dan apakah memang ada political good will dari pemerintah untuk menyikapi partisipasi masyarakat itu atau tidak.

Kecenderungan yang sering terlihat bukanlah kenyataan bahwa masyarakat itu tidak memiliki kepedulian terhadap perencanaan, akan tetapi kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat tidak tahu bagaimana menyalurkan aspirasi dan bentuk-bentuk partisipasi mereka itu. Akhirnya yang sering terjadi adalah penerapan bentuk participatory planning yang semu dan penyampaian aspirasi yang tidak terkoordinir oleh masyarakat. Mudahnya, apabila sering terlihat aksi-aksi demonstrasi mengenai suatu produk perencanaan, bukankah itu juga merupakan suatu bentuk partisipasi ? Bukankah itu juga bisa menjadi bukti bahwa masyarakat sebenarnya peduli pada perencanaan dan apa dampaknya terhadap mereka ? Atau mungkin, wahana partisipasi dan penyampaian aspirasi masyarakat itu sendirilah yang kurang merakyat, dalam pengertian kurang bisa dijangkau masyarakat karena memang harus menghadapi sistem birokrasi yang cukup rumit.

Sebagai contoh, dalam PP No. 69/1996 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang sebenarnya diatur tata cara penyampaian aspirasi masyarakat untuk mengkritisi atau menyikapi produk-produk rencana, khususnya rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam PP No. 69/1996 itu dipaparkan bahwa untuk mengkritisi suatu RTRW Kabupaten/Kota masyarakat dapat langsung melayangkan surat ke Bupati/Walikota, untuk mengkritisi suatu RTRW Propinsi masyarakat dapat langsung melayangkan surat ke Gubernur. Bagitu juga, analoginya, untuk kasus RTRW Nasional surat dapat dilayangkan ke Presiden Republik Indonesia. Memang benar bahwa wahana itu tersedia, akan tetapi apakah wahana seperti ini sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat. Terlebih lagi, rentang waktu untuk surat itu sampai ke tangan Bupati/Walikota atau Gubernur juga menjadi tanda tanya tersendiri mengingat sistem birokrasi dalam jaringan administrasi lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia yang kompleks. Maka tidak heran apabila masyarakat lebih memilih untuk menempuh cara-cara yang dirasa lebih praktis, pragmatis, ketimbang bermain dalam sistem yang sejak dulu memang terkenal karena inefektifitasnya.

Selain itu, penyebarluasan informasi-informasi dan wacana-wacana perencanaan untuk dapat diakses oleh masyarakat luas juga menjadi unsur penting dalam pembangunan iklim perencanaan yang partisipatif ini. Fenomena bahwa masyarakat lebih sering bersikap reaktif terhadap implementasi perencanaan yang cenderung kontroversial tidak menjadi hal yang aneh mengingat informasi konsep rencana tata ruang sejak awalnya pun sangat minim diperoleh masyarakat. Kalaupun ada, usaha-usaha penyebaran informasi itu hanya dilakukan sesuai standar prosedur, tanpa memperhatikan apakah memang masyarakat sudah cukup memiliki kapasitas untuk mengkritisinya. Sebagai contoh rencana tata ruang seringkali hanya diwacanakan dalam bentuk penempelan peta rencana guna lahan di tempat umum atau dipublikasikan melalui media cetak, tanpa mencoba memikirkan apakah memang masyarakat sudah mengerti arti sebuah peta rencana guna lahan, apa arti simbol-simbol yang terdapat didalamnya, atau bahkan apa arti rencana tata ruang itu dan apa artinya untuk mereka. Langkah-langkah untuk melakukan “pencerdasan” masyarakat untuk hal-hal mendasar seperti ini masih sangat minim dilakukan oleh pemerintah, padahal justru hal-hal inilah yang akan menjadi fondasi untuk membangun sebuah masyarakat yang mampu berperan aktif dalam paradigma perencanaan yang partisipatif.

Akan tetapi, usaha-usaha pencerdasan atau pengembangan masyarakat itu menemui hambatan lain lagi dalam hal kondisi internal sosial ekonomi masyarakat itu sendiri. Kondisi masyarakat umum Indonesia yang sudah sejak lama terbiasa dengan pola top-down menjadikan tingkat kekritisan masyarakat dalam perencanaan menjadi sesuatu yang perlu banyak dibenahi. Selain itu, kecenderungan apatisme masyarakat dalam menyikapi isu-isu yang seolah jauh dari kepentingan mereka juga menjadi sebuah tantangan klasik dalam pembangunan masyarakat yang partisipatif. Mudahnya, sangat sulit untuk mengharapkan masyarakat bicara mengenai tata ruang apabila untuk makan, memiliki mata pencaharian yang mapan, atau bahkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan saja masih menjadi beban masyarakat. Secara jujur, memang seperti itulah kondisi umum masyarakat Indonesia, dan perombakan sebuah paradigma tanpa diikuti pembenahan dalam hal-hal yang mendasar seperti ini hanya akan menemui jalan buntu. Maka langkah pembenahan itulah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat itu sendiri, termasuk didalamnya perencana.



Peran Perencana Pada Era Perencanaan Partisipatif di Indonesia


“... Dalam peperangan, jangan pergi berperang sebelum kau mengenali betul musuhmu, sebelum kau mengenal betul medan perangmu, dan hindarilah terjun dalam peperangan apabila kau tahu sebenarnya kau tidak mungkin bisa menang saat itu...”

-Sun Tzu, The Art of War-



Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, sangat sulit untuk merumuskan bagaimana perencana harus berperan. Akan tetapi satu hal yang nampaknya sudah semakin populer adalah bahwa situasi sudah berubah. Perencana tidak bisa lagi menempatkan dirinya sebagai kaum pakar yang seolah-olah mengetahui segalanya dan berhak untuk menentukan nasib masyarakat berdasarkan pengetahuannya itu, “sekarang kaum pakar tidak lagi mendapat tempat sebagai sentral dari penentuan sesuatu berdasarkan keahlian mereka semata, tanpa mau menerima berbagai perspektif dari lingkungan yang lebih luas.[10]”

Selama ini peran perencana berkembang, sesuai dengan logika perencanaan yang mendasarinya dan dalam konteks apa perencana itu bergerak. Beberapa peranan dari perencana itu antara lain[11] :

Perencana Teknis Administrasi, merupakan peranan tradisional perencana dalam konteks kepemerintahan, yaitu sebagai pakar teknis melayani kepentingan pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan implementasi maupun penyusunan rencana.
Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan politis dan berkomunikasi.
Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang dukungan politis dan administratif.
Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan, kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci sebagai fasilitator.


Semua peranan ini merupakan peranan-peranan yang memang seharusnya dijalankan oleh para perencana. Akan tetapi, proporsi dari pelaksanaan peran inilah yang selalu bervariasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu, dalam dimensi pergerakan sosio-kultural masyarakat yang selalu dinamis. Dan untuk saat ini, dimana iklim partisipatif mulai berhembus dengan kuat, pendekatan positivisme yang diambil para perencana seperti yang selama ini dijalankan pada masa orde baru menjadi tidak relevan lagi. Masyarakat mulai menyadari peran mereka, atau setidaknya mereka mulai sadar bahwa hal-hal yang digariskan oleh seorang perencana pada sebuah produk rencana akan mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Meskipun begitu, transisi ini tidak selalu berjalan dengan mulus. Kontrol masyarakat atas penyusunan sebuah rencana masih sangat kurang, sejalan dengan minimnya informasi akan proses penyusunan rencana tersebut. Ditambah lagi, ternyata faktor internal perencana juga seakan menjadi duri dalam daging. Paradigma perencanaan top-down dengan metoda positivisme yang telah bertahun-tahun berurat-berakar dalam mind-set dunia perencana tidak semudah itu untuk didekonstruksi.

Dalam abstraksi makalah “Demistifikasi Peran planner dan Pembangunanisme”[12], Sapei dengan lantang menyatakan bahwa “kekuatan politis dan kapasitas kepakaran seringkali menjadi juru tafsir utama dalam memaknai partisipasi. Tidak jarang keduanya hanya menafsirkan partisipasi sebagai pemenuh kebutuhan pengisian berita acara proyek-proyek yang memang dipesan harus dengan cara-cara partisipatif.” Apabila memang seperti ini yang terjadi, maka “participatory planning” hanya menjadi sebuah hiasan untuk melegitimasi produk-produk rencana dengan label “partisipatif”, dengan melupakan esensi dari konsepnya sendiri, yaitu untuk memperbaiki hubungan kekuasaan (politik) masyarakat, terutama golongan marjinal, terhadap elit penguasa.

Lebih jauh Sapei menjelaskan dalam makalahnya tersebut bahwa kelompok pakar seringkali menunjukkan keengganan untuk bisa bekerja sama dengan masyarakat, karena pola pikir bahwa perencana adalah seorang “pakar” yang paling mengetahui segala persoalan menjadi mind-set yang paling sulit untuk dicairkan. Artinya, hambatan untuk melaksanakan suatu proses perencanaan yang partisipatif justru juga datang dari kalangan perencana sendiri.

Dalam proses dekonstruksi mind-set tersebut, sebenarnya yang perlu untuk ditegaskan kembali adalah perlunya para perencana untuk merumuskan kembali peranan dan “posisi politis” mereka dalam konteks perencanaan yang partisipatif ini. Haryo Winarso dalam makalahnya “Perencanaan Dalam Era Transformasi”[13] mencoba merumuskan peranan perencana tersebut dan membaginya kedalam dua peranan besar, yaitu perencana sebagai manager perubahan dan perencana sebagai katalisator perubahan.

Perencana sebagai manager perubahan, dalam pengertian bahwa perencana berperan penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks keadaan ekonomi dan politik Indonesia (secara umum) yang belum stabil. Dalam keadaan seerti itu, kemampuan managerial sangat penting bagi seorang perencana. Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan yang stabil.
Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh slogan demokratisasi dan partisipasi semu. Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai katalisator akan meredam konflik dan memberikan “pencerahan” pada masyarakat. Perencana harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator perubahan.


Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya.

Peranan perencana ini tak pelak membutuhkan kemampuan lebih dari pihak perencana dalam hal politik, birokrasi, dan keahlian komunikasi. Peran sebagai manager mengharuskan perencana mempunyai kemampuan tidak hanya teknis birokratis, tetapi kemampuan komunikasi yang prima untuk meyakinkan orang yang berhubungan dengan dirinya (Forester, 1987).



Konklusi


”...Sesungguhnya tidak ada kata penutup, karena akhir dari sebuah wacana dan diskusi seharusnya menjadi awal dari sebuah tataran aksi...”

-Tim Civic Education, Satgas KM ITB untuk Pemilu RI 2004-



Peranan lebih perencana dalam era transformasi menuntut pihak perencana menjadi garda terdepan dalam membuat perubahan. Dan sejarah memang mencatat bahwa perubahan dimanapun selalu dimulai dan dimotori oleh middle class, atau kelas menengah dalam suatu sistem tatanan kehidupan. Apabila memang perencana ditempatkan dalam kelas menengah (diantara elit penguasa dan masyarakat yang termarjinalkan), maka tanggung jawab itu akan menjadi berat apabila pihak perencana belum mampu untuk mendekonstruksi mind-set atau paradigma perencanaan yang selama ini dianutnya.

Sudah saatnya paradigma positivisme yang menempatkan pihak perencana sebagai seorang yang “super” diganti menjadi paradigma pendekatan fenomenologis yang mendasarkan idenya pada kenyataan bahwa masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak pembangunan dan paling mengetahui apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, maka keterlibatan dan peran serta dari masyarakat menjadi suatu keniscayaan yang dibutuhkan.

Pendekatan ini memang akan mendatangkan dilema yang teramat besar bagi pihak perencana, dimana peran sebagai peneliti yang mendasarkan penelitiannya pada kaidah-kaidah keilmuan secara komprehensif harus dibenturkan pada peran politis sebagai pendamping, sahabat bagi masyarakat yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka pada pemerintah, yang mungkin terkadang tidak juga sesuai dengan kaidah-kaidah teknis. Disini etika seorang perencana akan teruji. Walaupun apa yang disebut dengan “etis” itu juga masih relatif, tapi kecenderungan berpikir seorang perencana akan sangat mewarnainya. Seorang perencana yang lebih berorientasi politis akan memiliki interpretasi yang lebih liberal mengenai standar etika dibanding mereka yang lebih berorientasi normatif. Tapi akan tetap ada kelompok ketiga dalam dunia perencana, yang memiliki integritas tinggi baik dalam dimensi teknis maupun politis, yang jatuh pada golongan “middle road planner.” Faktor-faktor lain seperti pandangan politik (political views) dan kemampuan untuk mengekspresikan nilai-nilai dalam profesinya juga akan dapat menjelaaskan perbedaan nilai etika tersebut[14]. Implikasinya nanti akan sangat terlihat pada teori, praktek, dan pembelajaran yang ditunjukkan oleh seorang perencana.

Apapun kecenderungan berpikir yang diambil oleh seorang perencana, satu hal yang pasti adalah sudah saatnya perencana menjadi pendamping masyarakat dalam usaha pemberdayaan masyarakat seperti yang selalu diidam-idamkan. Klaim netralitas dan ketidak-berpihakkan seperti yang selama ini secara naif dianut oleh perencana mungkin memang sudah saatnya digugat. Keberpihakan dalam suatu konteks politik (seperti yang banyak berpengaruh dalam dunia perencanaan) merupakan suatu keniscayaan. Tinggal sekarang perencanalah yang memutuskan arah keberpihakkannya itu. Paulo Freire[15] pernah menyatakan bahwa menyembunyikan kepentingan dalam “jaring laba-laba” segala macam teknik, atau mengelabuinya dengan mengklaim netralitas tidak berarti semua itu benar-benar netral. Bahkan sebaliknya, klaim teersebut justru merupakan sebuah bentuk mempertahankan status quo.

Sebagai penutup, penyusun ingin mengkerucutkan sekali lagi bahwa peran perencana adalah sebagai pihak yang memang belajar bersama masyarakat, pihak yang merangkul masyarakat dalam mencapai impian-impian yang selama ini termarjinalkan oleh kekuatan elitis, dan tak pelak hal itu membutuhkan ruang-ruang untuk bersikap kritis dalam kerangka keberpihakan terhadap masyarakat tersebut.



“Betul, semua ini seperti sebuah mimpi. Akan tetapi, semua yang besar dimulai dari satu mimpi yang kecil dan dilanjutkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Sekarang tinggal tergantung dari mau atau tidaknya kita untuk mewujudkan mimpi itu, karena sebenarnya tidak ada yang mustahil kalau apa yang diperjuangkan memang sesuatu yang besar kebaikannya. Insya Alloh, perjuangan ini tidak sia-sia… (Jakarta, 14 Juli 2003)”



Referensi

· Friedmann, John (1987), “Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action”, Princeton University Press, Princeton-New Jersey.

· Kraushar, R and Gardels, N, 1983, “Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits” in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.

Sapei, ST, “Demistifikasi Peran Planner Dalam Pembangunanisme”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
· Soegijoko, Budhy Tjahjati S., “Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia”, Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.

Winarso, Haryo, “Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.



--------------------------------------------------------------------------------
Catatan :

[1] John Friedmann (1987), “Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action”, Princeton University Press, Princeton-New Jersey.

[2] Ilmu tentang “bagaimana” sebuah ilmu atau teori itu ditemukan. Suatu filsafat yang menjadikan persoalan penjelasan sebagai sentralnya. (Koesparmadi, “Mencari Domain Tata Ruang dan Memahami Dinamika Perubahan”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung 8-9 November 2001)

[3] Kraushar, R and Gardels, N, 1983, “Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits” in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.

[4] Healey, 1997, Colaborative Planning : Shapping Places in Fragmented Societies, Macmillan Press, London.

[5] Goulet, D (1986), “Three Rationalities in Development Decision-Making”. World Development vol 14, no 2, page 310-317.

[6] Paulo Freire, 1982, “Education for Critical Consciousness”, Continum, New York.

[7] Lihat Pembahasan John Gaventa dan Camilo Valderama: Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah, sebagai pengantar buku Mewujudan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, yang diterbitkan oleh The British Council dan New Economics Foundation, 2001.

[8] Lihat Gaventa, op.cit..

[9] Branch, Melville C., “Perencanaan Kota Komprehensif”, 1995

[10]John Abbot, “Sharing The City : Community Participation in Urban Management”, Earthscan Publication Ltd., London.

[11] Soegijoko, Budhy Tjahjati S., “Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia”, Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.

[12] Disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001

[13] Disampaikan pada Seminar Nasional “Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi”, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001

[14] Howe, Elizabeth and Jerome Kaufman, “The Ethics of Contemporary American Planners”, Journal of The American Planning Vol. 45 No.3/1979.

[15] Paulo Freire, “Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”, Kerjasama Read dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

3 comments:

Anonymous said...

top [url=http://norwegian-online-casinos.com/]free casino bonus[/url] coincide the latest [url=http://www.casinolasvegass.com/]free casino games[/url] manumitted no deposit perk at the leading [url=http://www.baywatchcasino.com/]casino
[/url].

Anonymous said...

[url=http://sexrolikov.net.ua/tags/%C0%ED%E0%F2%EE%EB%FC%E5%E2%ED%E0/]Анатольевна[/url] Смотреть порно онлайн : [url=http://sexrolikov.net.ua/tags/%C0%ED%E0%F2%EE%EB%FC%E5%E2%ED%E0/]Анатольевна[/url] , это все смотри

Anonymous said...

top [url=http://www.001casino.com/]casino games[/url] coincide the latest [url=http://www.realcazinoz.com/]casino bonus[/url] unshackled no deposit reward at the foremost [url=http://www.baywatchcasino.com/]baywatchcasino.com
[/url].