Wednesday, August 03, 2005

Good University Governance

“Good University Governance”

Awan Diga Aristo
15400008, Teknik Planologi ITB


Bab I
Pendahuluan

Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, perlu mulai ditelaah secara mendalam. Hal ini menjadi urgen setelah dalam praktiknya, status BHMN ternyata memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi. Tantangan-tantangan baru ini merupakan aspek-aspek yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri di Indonesia, termasuk bagaimana menumbuhkan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif, pengelolaan keuangan, kebebasan lebih besar dalam merumuskan kurikulum dan hal-hal lain yang terkait dengan bidang akademis, akuntabilitas publik dan sebagainya.

Pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan mengenai bagaimana konsep penyelenggaraan institusi perguruan tinggi yang dianggap cukup ideal untuk menghadapi tantangan-tantangan baru tersebut. Konsep tersebut, apapun bentuknya, nampaknya harus memperhatikan pelibatan dan pemenuhan kebutuhan dari seluruh stakeholders (pihak yang berkepentingan) yang terkait dengan institusi perguruan tinggi, mengingat peranan ideal pendidikan tinggi bagi sebuah bangsa yang sangat vital dalam menelurkan calon putra-putra terbaiknya dan memperhatikan bahwa lingkungan perguruan tinggi merupakan sebuah komunitas yang relatif kritis (atau perlu terlatih untuk menjadi kritis) terhadap permasalahan-permasalahan disekitarnya.

Adapun salah satu konsep yang saat ini sedang menjadi mainstream dalam penyelenggaraan perguruan tinggi adalah konsep good university governance. Konsep ini sebenarnya merupakan turunan dari konsep tata kepemerintahan yang lebih umum, yaitu good governance. Tulisan ini disusun untuk mencoba memberikan sebuah wacana dalam mencoba memahami konsep good university governance tersebut, dengan harapan jangka panjang bahwa masyarakat kampus mampu tergerak untuk berusaha lebih memahami dan ikut kritis dalam memberikan masukan-masukan menuju penyelenggaraan perguruan tinggi (dalam konteks ini Institut Teknologi Bandung) yang lebih baik.

Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba untuk turut memberikan sebuah bahan pemikiran dalam perdebatan mengenai apakah pendidikan tinggi itu dapat digolongkan sebagai sebuah public goods atau private goods. Perdebatan ini menjadi sebuah wacana yang jawaban-jawabannya akan mendasari bagaimana seharusnya manajemen penyelenggaraan perguruan tinggi yang baik dan bagaimana seharusnya pihak perguruan tinggi menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Sekali lagi, tulisan ini disusun tidak untuk memaksakan sebuah argumentasi atau pemikiran kepada pihak lain, melainkan dimaksudkan untuk menjadi sebuah bahan pemikiran bagi semua pihak yang merasa berkepentingan dengan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi di Indonesia, untuk kemudian bersama-sama merumuskan bagaimanakah seharusnya kita menempatkan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi tadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini akan dibagi kedalam dua episode, dimana episode pertama akan membahas mengenai Good university governance, dan episode kedua akan membahas perdebatan mengenai apakah pendidikan tinggi itu dapat digolongkan sebagai public goods atau private goods.


Bab II
Good university governance :
“Sebuah Pemahaman Awal Mengenai Pengertian dan Bagaimana Seharusnya Implikasinya dalam Penyelenggaraan Perguruan Tinggi”


Good governance

Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.

Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan dalam makalah ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.

Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
Menurut Leach & Percy-Smith (2001) government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat menangkap makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”

Mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.

Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Apabila diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan pengurangan tingkat korupsi, pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing karakteristik :

1. Participation
Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi
lain.

2. Rule of law
Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.

3. Transparency
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.

4. Responsiveness
Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.

5. Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.

6. Equity and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.

7. Effectiveness and efficiency
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.

8. Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.


Good university governance

Pada awalnya, konsep good governance memang muncul dalam tataran korporasi dan institusi perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan konsep good governance dalam dekade terakhir telah ditumbuhkan (oleh lembaga-lembaga donor internasional) menjadi sebuah konsep untuk dapat dipahami dalam konteks yang luas dan dijadikan dasar dalam menyusun konsep-konsep baru untuk institusi-institusi tertentu dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasarnya. Konsep-konsep turunan tersebut kemudian salah satunya bahkan menyangkut penyelenggaraan korporasi, yaitu good coorporate governance, yang sebenarnya merupakan perbaikan dari prinsip-prinsip governance korporasi tradisional yang pada hakikatnya justru merupakan inspirator dari konsep good governance.

Adapun yang perlu kita pahami adalah munculnya dua konsep tadi, good governance dan good coorporate governance, dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa pengelolaan sebuah negara tidak dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah korporasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat dan tujuan dasar pembentukan kedua institusi tadi, dimana pengelolaan sebuah negara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sementara sebuah korporasi dibentuk untuk meraup keuntungan.

Perbedaan sifat ini tidak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam penyelenggaraan keduanya, dengan modifikasi-modifikasi tertentu untuk mengakomodasi sifat-sifat dan tujuan dasarnya masing-masing. Prinsip-prinsip itu diantaranya akuntabilitas, transparansi, rule of law, dan sebagainya.

Lantas bagaimana dengan institusi perguruan tinggi ?

Apakah penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi ? Apabila kita lihat sifat dan tujuan dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi di suatu negara, kita bisa dengan cukup tegas mengatakan tidak.

Pada dasarnya, pendidikan tinggi yang pada praktiknya dijalankan oleh institusi perguruan tinggi dimaksudkan untuk dapat menjadi komunitas kaum intelektual suatu bangsa. Komunitas intelektual ini kemudian diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan inovasi-inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa, termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan peranan dan harapan yang besar inilah kemudian anggota komunitas pendidikan tinggi kemudian mendapat posisi yang terhormat di tengah masyarakat. Gelar sebagai seorang sarjana merupakan gelar yang dipandang terhormat di tengah masyarakat. Inilah arti pendidikan tinggi di tengah masyarakat tradisional. Contohnya dapat kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina dan Mesir pada zaman dahulu, dimana gelar keserjanaan merupakan gelar yang mendapat posisi tinggi di tengah masyarakat. Di kedua bangsa itu, kita juga melihat perguruan tinggi menjadi basis pengembangan kebudayaan dan teknologi, contohnya budaya sastra di Cina.

Secara tradisional, peranan institusi perguruan tinggi berfokus pada transfer atau konservasi ilmu pengetahuan (knowledge) dan diharapkan untuk menjadi komunitas yang memegang teguh nilai-nilai (values) yang dianggap ideal atau dijunjung tinggi suatu bangsa. Ia diharapkan menjadi sebuah komunitas yang mampu melindungi dirinya dari kooptasi nilai-nilai lingkungan diluarnya yang mungkin korup atau mengandung keburukan. Inilah yang mendasari perlunya status independensi atau otonomi perguruan tinggi. Selain itu, sebuah kebebasan atau independensi juga diperlukan untuk mendukung terwujudnya inovasi atau perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kebebasan itu juga kemudian menyentuh individu-individu yang tercakup dalam komunitas tersebut, karena pada hakikatnya, inovasi dan pemikiran itu bukan dihasilkan oleh institusi, melainkan individu-individu didalamnya.

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, peranan tradisional ini dianggap justru terlalu menempatkan institusi perguruan tinggi seperti sebuah menara gading yang terpisah, eksklusif dari masyarakat. Dalam paham yang lebih modern, peranan perguruan tinggi mengalami penambahan dalam hal peranan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Menghadapi transformasi ekonomi, teknologi dan kondisi sosial yang sangat cepat, pendidikan tinggi dituntut untuk lebih menyeimbangkan peranannya sebagai pusat intelektual sekaligus menjaga agar tetap relevan dengan kondisi sosial di sekitarnya atau kondisi sosial bangsa yang menaunginya. Output dari perguruan tinggi diharapkan bukan hanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap kerja, tapi lebih dari itu, menjadi agen-agen bangsa yang sanggup mengelola dan mengarahkan perubahan di bangsa itu.

Dengan dasar tujuan demikian, maka pengelolaan sebuah institusi perguruan tinggi tidak mungkin disamakan dengan pengelolaan sebuah negara maupun korporasi. Ada koridor-koridor tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur (values), baik dalam hal akademik maupun social values yang harus dijaga didalamnya. Sementara hal-hal lain dalam penyelenggaraannya harus ditempatkan sebagai means atau alat untuk mendukung pencapaian tujuan dasar tersebut.
Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi. Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.


Implementasi Good university governance

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam hal stakeholders yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan perguruan tinggi.

Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi kemudian adalah mengenai academic excellence dan manajemen perguruan tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam penerapan good university governance.

Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal prinsip-prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat. Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal manajerial menjadi cukup besar.
Beberapa negara seperti austria bahkan menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara negara-negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat diantara kedua ekstrim tadi.

Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence (yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan mandiri.


Good university governance dalam Konteks Status BHMN Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia

Setelah era reformasi tahun 1998 yang diikuti dengan diterimanya IMF sebagai lembaga donor di Indonesia, wacana good governance mulai mengemuka. Bersamaan dengan itu, cukup banyak persyaratan yang diajukan oleh IMF dalam menyalurkan pinjamannya. Salah satunya adalah otonomi perguruan tinggi.

Pemerintah kemudian menawarkan status Badan Hukum Milik Negara pada lima perguruan tinggi negeri di Indonesia yang dinilai sudah cukup siap untuk mengadopsi status tersebut. Tawaran yang diajukan mencakup otonomi yang lebih luas dalam hal penentuan kebijakan akademik bagi PTN-PTN tersebut. Otonomi akademik ini juga diikuti oleh otonomi manajerial dan pembiayaan.

Wacana good university governance sepertinya telah menjadi sebuah wacana umum yang cukup menarik untuk diadopsi dalam pencarian bentuk governance yang baik untuk PTN-PTN tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan good university governance ini, terutama dalam hal penerapan prinsip-prinsip atau karakteristik dasarnya.

1. Penentuan stakeholders.
Inti dari proses governance yang baik adalah bagaimana hubungan antar stakeholders didalamnya. Untuk itu, maka kita terlebih dahulu perlu mendefinisikan siapa para stakeholders tersebut. Stakeholder pertama adalah warga kampus, yaitu manajer eksekutif, mahasiswa, dosen, karyawan, dsb. Yang kedua adalah pihak-pihak diluar PTN yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberadaan PTN. Kelompok stakeholders kedua ini berarti termasuk negara sebagai institusi yang menaungi PTN, masyarakat umum, calon mahasiswa baru, sektor swasta dan sebagainya. Masyarakat secara umum merupakan entitas yang mendasari munculnya pendidikan tinggi, dan pada dasarnya pendidikan tinggi dibangun untuk mengabdi pada masyarakat, tidak hanya untuk membekali individu-individu dalam memperoleh pekerjaan yang layak baginya. Penyelenggara PTN pada hakikatnya harus mampu memberikan pertanggungjawaban pada seluruh stakeholders ini.

2. Pendefinisian peranan dan tanggung jawab masing-masing stakeholders.
Hal ini harus didahului dengan pembangunan kesadaran dalam diri seluruh stakeholders bahwa mereka memiliki kepentingan dan karenanya harus turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan PTN. Dalam konsep BHMN, lembaga yang mungkin dapat disebut sebagai Dewan PTN atau representasi dari seluruh stakeholders adalah MWA (Majelis Wali Amanat) masing-masing PTN. MWA inilah yang kemudian harus berperan sebagai pihak yang mampu mengelola dan mengarahkan perubahan-perubahan atau pembangunan di PTN-nya.

3. Partisipasi.
Partisipasi atau pelibatan aktif dari seluruh stakeholders merupakan sesuatu yang vital dalam penyelenggaraan governance yang baik. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila dari pihak stakeholders sendiri memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dan ada kesempatan atau fasilitas yang terbuka seluas mungkin untuk itu. Kesempatan dan fasilitas ini harus disediakan oleh pihak penyelenggara perguruan tinggi (Dalam hal ini MWA dan manajer eksekutif atau jajaran rektorat). Partisipasi atau pelibatan ini harus terbuka dalam setiap langkah dalam proses pembangunan atau penyelenggaraan perguruan tinggi. Artinya, usaha pelibatan harus mulai dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selama ini, dalam praktiknya, usaha pelibatan atau kesempatan partisipasi hanya diberikan pada tahap implementasi sebuah program, sementara belum tentu seluruh stakeholders menyetujui program tersebut. Yang lebih parah lagi, “kesempatan” itu seringkali lebih bersifat sosialisasi program dari rektorat pada stakeholders. Seluruh stakeholders sudah harus mulai diberi kesempatan berpartisipasi sejak awal perencanaan program-program dan sasaran kedepan. Hal ini penting untuk menjaga komitmen seluruh stakeholders dan menjadi basis legitimasi program-program pembangunan.

4. Penegakkan hukum.
Pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi tidak mungkin dapat berjalan dengan kondusif apabila tidak ada sebuah hukum atau peraturan yang ditegakkan dalam penyelenggaraannya. Aturan-aturan itu, berikut sanksi-sanksinya, hendaknya merupakan hasil konsensus dari stakeholders, untuk meningkatkan komitmen dari semua pihak untuk mematuhinya. Aturan-aturan itu dapat disusun dalam bidang akademik maupun non-akademik. Yang perlu diperhatikan adalah aturan yang dibuat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan stakeholders untuk berekspresi, melainkan untuk menjaga keberlangsungan pelaksanaan fungsi-fungsi perguruan tinggi dengan seoptimal mungkin.

5. Transparansi.
Transparansi atau keterbukaan merupakan sebuah prasyarat dasar untuk menunjang adanya partisipasi dan menjaga akuntabilitas institusi. Proses partisipasi memerlukan ketersediaan informasi yang memadai dan kemudahan bagi seluruh stakeholders dalam mengakses informasi tersebut. Selain itu, transparansi memungkinkan seluruh stakeholders untuk dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja institusi. Dalam hal anggaran atau keuangan, transparansi ini menjadi sangat urgen terutama dalam era BHMN, mengingat arus perputaran uang dalam institusi perguruan tinggi menjadi lebih besar dan kompleks. Akan tetapi, transparasi ini hendaknya tidak hanya dalam hal anggaran, melainkan seluruh dinamika yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan perguruan tinggi.

6. Responsivitas.
Sifat responsif ini dapat kita bagi dalam dua konteks. Pertama, pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) harus mampu menangkap isu-isu dan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dinamika penyelenggaraan PTN tersebut. Mereka harus mampu merespon harapan-harapan stakeholders dan menyikapi permasalahan yang terjadi. Yang kedua, dalam konteks yang lebih luas, PTN secara institusi harus mampu bersikap responsif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan mempu bertindak atau berpartisipasi untuk menyikapinya. Pada dasarnya, pendidikan tinggi harus mampu responsif untuk menyikapi permasalahan-permasalah di bangsa yang menaunginya dan selalu berusaha untuk memenuhi harapan-harapan dan amanat yang diembannya dari masyarakat.

7. Orientasi pada konsensus.
Proses pengambilan segala keputusan atau kebijakan dalam penyelenggaraan PTN hendaknya mengutamakan konsensus atau kesepakatan dari stakeholders.

8. Persamaan derajat dan inklusivitas.
Seluruh prinsip-prinsip tadi hanya mungkin terwujud apabila ada satu kesepahaman mengenai persamaan derajat (equity) setiap entitas stakeholders. Artinya, paradigma yang dipakai bukanlah hierarkikal atau ada satu kelompok yang derajatnya lebih tinggi dibanding kelompok lain. Sebaliknya, paradigma yang dipakai adalah persamaan derajat dan adanya pemahaman bersama bahwa perbedaan antar stakeholders sebenarnya terletak pada peranan, tanggung jawab, dan amanat yang diemban. Dengan begitu akan tercipta rasa saling menghargai dan menghormati antar stakeholders, mengingat penyelenggaraan PTN tidak akan berjalan dengan baik apabila salah satu dari peran masing-masing stakeholders tidak berfungsi. Selain itu, perlu dihilangkan kesan eksklusif, terutama dari MWA dan rektorat sebagai pihak yang diserahi amanat dan kewenangan untuk memimpin dan me-manage penyelenggaraan PTN, agar tercipta rasa kepemilikan dan komitmen yang besar dari semua stakeholders dan menciptakan pola hubungan yang baik antar stakeholders.

9. Efektifitas dan efisiensi.
Output dari seluruh proses penyelenggaraan atau program-program yang digariskan harus tepat sasaran (efektif) atau sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholders. Yang terutama adalah efektif dalam menunjang fungsi-fungsi pendidikan, khususnya dalam hal peningkatan mutu akademik dan riset. Selain itu, penyelenggaraan PTN juga harus efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya.

10. Akuntabilitas.
Institusi PTN harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh rangkaian proses penyelenggaraan PTN terhadap seluruh stakeholders, baik internal maupun eksternal, terutama pada masyarakat umum. Pertanggungjawaban ini dapat dilakukan secara rutin dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam hal anggaran setiap tahun perlu dilakukan proses audit, baik audit internal maupun audit eksternal yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil audit maupun laporan pertanggungjawaban lain harus dengan mudah dapat diakses oleh seluruh stakeholders. Selain itu, untuk mendukung akuntabilitas ini, prinsip transparansi juga harus diterapkan dengan benar.

11. Values yang harus dijunjung tinggi PTN.
Seluruh prinsip ini harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tujuan dasar yang dianut dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan diterapkan untuk menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi dasar perguruan tinggi. Perguruan tinggi mengemban amanat dan harapan yang besar dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga penyimpangan dari nilai-nilai ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap amanat dan harapan itu.


Secara umum, ini merupakan prinsip yang harus diikuti dalam penyelenggaraan PTN apabila kita memang secara konsisten ingin menerapkan konsep good university governance. Aplikasi dari prinsip-prinsip ini sebenarnya secara luas dapat ditempatkan dalam hampir semua konteks permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan PTN. Mungkin akan lebih baik apabila kita mengambil sebuah contoh. Dalam tulisan ini, mari kita coba membahas mengenai masalah biaya pendidikan (SPP).

PTN-PTN di Indonesia yang telah mendapat status BHMN saat ini menghadapi permasalahan dan tantangan baru dalam hal pembiayaan penyelenggaraannya. Biaya penyelenggaraan PTN-PTN tersebut yang sebelumnya sebagian besar bergantung pada subsidi pemerintah disyaratkan untuk mulai beralih pada usaha mandiri PTN sendiri. Jumlah subsidi memang tidak berkurang. Akan tetapi, seiring dengan otonomi akademik tadi, PTN-PTN berusaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kegiatannya. Hal ini tentu menyebabkan meningkatnya biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan PTN. Mudahnya, biaya penyelenggaraan PTN terus meningkat dari tahun ke tahun sementara jumlah subsidi dari pemerintah tetap. Gap atau selisih antara subsidi pemerintah dan total anggaran yang meningkat inilah yang kemudian memaksa manajemen PTN untuk berusaha mencari sumber-sumber pendanaan baru yang lebih mandiri.

Apabila kemudian PTN tersebut ingin menerapkan konsep good university governance, maka yang pertama kali harus dilakukan oleh pihak penyelenggara PTN (MWA dan rektorat) adalah mendefinisikan stakeholders atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pembiayaan penyelenggaraan PTN. Mengingat pada dasarnya MWA merupakan sebuah lembaga perwakilan stakeholders, maka yang harus dilakukan oleh MWA adalah turun ke basis massanya masing-masing untuk meminta pendapat atau aspirasi dari basis massanya. Setelah itu, baru stakeholders secara luas diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk menyikapi permasalahan ini. Mereka diajak untuk turut memikirkan mulai dari tahap identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi program-program yang berjalan.

Meskipun yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan akhir adalah rektorat dan MWA, akan tetapi tetap harus diingat adanya persamaan derajat antara mereka dengan stakeholders lain. Inklusivitas menjadi urgen untuk dapat menampung aspirasi seluas mungkin. Arus informasi harus dibuka lebar-lebar untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang terjadi pada stakeholders.

Setelah kebijakan mengenai program-program atau langkah-langkah penyelesaian masalah diambil, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah mengevaluasi apakah kebijakan itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai luhur pendidikan yang harus dijunjung tinggi oleh perguruan tinggi. Misalnya, apabila keputusannya adalah menaikkan SPP, maka harus diperhitungkan berapa pengaruh kenaikan itu untuk anggaran PTN, dan apa pengaruh kenaikan SPP itu bagi masyarakat yang akan menanggungnya dan apa pengaruhnya bagi dunia pendidikan secara umum.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas harus terus dilakukan. Stakeholders dapat dengan mudah mengakses informasi-informasi mengenai anggaran dan keuangan institusi PTN. Hal ini akan memudahkan semua pihak untuk memantau tingkat efektivitas dan efisiensi program yang dijalankan serta efektifitas dan efisiensi anggaran. Stakeholders juga memiliki akses dan kesempatan untuk memberikan masukan atau evaluasi selama program berjalan. Yang harus diingat adalah apabila program atau kebijakan yang diambil telah melalui konsensus stakeholders, maka seluruh stakeholders harus berkomitmen untuk menjalankan kebijakan tersebut, sesuai perannya masing-masing. Sebaliknya, apabila ada yang salah dalam proses pengambilan keputusan itu, maka tidak ada kewajiban bagi stakeholders untuk berkomitmen atau mendukung kebijakan tersebut.

Ini merupakan sebuah contoh penerapan good university governance dalam menyikapi permasalahan pembiayaan PTN. Langkah-langkah dan prinsip-prinsip dalam contoh ini dibiarkan tetap berada dalam tataran normatif atau tidak terlalu teknis mengingat memang tidak ada tataran teknis yang baku dalam konsep good university governance. Tataran teknis ini baru akan terlihat tergantung konteks dan konsensus dari stakeholders.


Bab III
Penutup

Good university governance merupakan sebuah konsep yang muncul karena kesadaran bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi memang tidak dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi. Yang membedakannya adalah nilai-nilai luhur pendidikan yang harus dijaga dalam pelaksanaannya. Dengan begitu, maka ukuran apakah suatu perguruan tinggi telah menerapkan good university governance atau tidak adalah sampai sejauh mana perguruan tinggi tersebut mampu menyikapi dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraannya tanpa mengkhianati nilai-nilai luhur tadi dan amanat yang diembannya dari masyarakat, bangsa dan negara yang menaunginya.

Tulisan ini pada dasarnya tetap dibiarkan terbuka dan bersifat normatif karena tujuan pembuatannya memang bukan untuk memberikan doktrin teknis atau menutup kemungkinan untuk perkembangan di masa depan. Tulisan ini dibuat agar kita mampu memahami prinsip-prinsip dasar dalam good university governance, dan dengan demikian memacu kita untuk bersama-sama memikirkan, bagaimana sebenarnya bentuk yang terbaik untuk perguruan tinggi yang paling dekat dengan kita, ITB.


Untuk ITB yang lebih baik... Untuk Indonesia yang lebih baik...
Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater... Merdeka !!!


Referensi

1. Bradley AO., Dennis, Prof. University Governance-Governing What ?. Makalah yang disampaikan pada Business Higher Education Round Table Conference, November 2003
2. Effendi, Sofian. Membangun Good Governance : Tugas Kita Bersama. Prosiding Seminar Nasional Meluruskan Jalan Reformasi.Universitas Gadjah Mada, 25-27 September 2003
3. International Monetary Fund. The Role of the IMF in Governance Issues: Guidance Note. IMF Executive Board, July 25, 1997)
4. Osborne, David; Ted Gaebler. Reinventing Government. Reading, Addison-Wesley, 1992.
5. Public Universities and Challenges in Years Ahead, “BUDIMAN 59 - Suara Universiti Malaya” tahun ke 25, ISSN 0126-7949
6. Recomendations for Good University Governance in Denmark, report by the committee “University Boards in Denmark”, 2003
7. Sjahrir. Dr. “Good Governance di Indonesia Masih Utopia : Tinjauan Kritis Good Governance”. Jurnal Transparansi Edisi 14/Nov 1999 . Masyarakat Transparansi Indonesia, 1999
8. Stevenson, Michael Dr.. University Governance and Autonomy Problems in Managing Access, Quality and Accountability. Keynote Address to ADB Conference on University Governance. Denpasar, Indonesia, April 26, 2004
9. Sumarto, Hetifah Sj.. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2003
10. Woods, Ngaire. “The Chalenge of Good Governance for the IMF and the World Bank Themselves”. World Development Vol. 28 No. 5. Great Britain, 2000
11. http://worldbank.org

No comments: