Wednesday, August 03, 2005

MEMPERTANYAKAN DOGMATISME PROFESI PERENCANA


MEMPERTANYAKAN DOGMATISME PROFESI PERENCANA
"Sebuah Tinjauan Mengenai Kondisi Keprofesian
Dalam Dunia Perencanaan Di Indonesia dan Mandat Moral Yang Mengikutinya"
Disampaikan Pada :
Seminar Nasional "Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Perubahan Multidimensi"
Memperingati 45 Tahun Pendidikan Planologi ITB
4 Desember 2004

Awan Diga Aristo ( NIM 15400008) Mahasiswa S1 Departemen Teknik Planologi ITB
Abstraksi
Pengkategorian posisi perencana sebagai sebuah "profesi", dan bukan sekedar "pekerjaan", secara filosofis sebenarnya mensyaratkan terpenuhinya beberapa ciri definitif, baik dalam tataran konseptual maupun teknis. Satu konsep pemisahan menyebutkan bahwa kedudukan profesi menjadi berbeda dengan pekerjaan biasa karena ada perbedaan proporsi dalam "mandat moral" yang mengikutinya (Bickenbach-Hendler, 19981). Mandat moral inilah yang diemban oleh para profesional sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap masyarakat luas yang pada dasarnya turut melahirkan profesi tersebut. Dibalik kemapanan posisi perencana di Indonesia dengan keberadaan IAP (Ikatan Ahli Perencanaan), sebenarnya masih tersimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apakah kondisi ini sudah merupakan kondisi yang cukup kondusif bagi para perencana dalam mengemban mandat moral mereka. Atau bahkan apakah mandat moral dari para perencana di Indonesia itu sendiri ? Pertanyaan-pertanyaan ini secara luas dapat terus bergulir sampai pada gilirannya akan mempertanyakan kontribusi apakah yang telah diberikan oleh profesi perencana bagi masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Apabila pertanyaan-pertanyaan ini masih digantungi kegamangan dalam jawaban-jawabannya, maka mungkin eksistensi perencana di Indonesia sebagai sebuah profesi pun masih digantungi oleh kegamangan itu.

I. Pendahuluan, Kontekstualisasi Terminologi "Profesi"

"... Dalam peperangan, jangan pergi berperang sebelum kau mengenali betul musuhmu, sebelum kau mengenal betul medan perangmu, dan hindarilah terjun dalam peperangan apabila kau tahu sebenarnya kau tidak mungkin bisa menang saat itu..."
-Sun Tzu, The Art of War-

"The Moral Mandate Of The "Profession" Of Planning", sebuah esei yang ditulis oleh Jerome E. Bickenbach dan Sue Hendler pada tahun 1998. Dalam esei ini, Bickenbach dan Hendler menjabarkan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bidang-bidang pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi. Mereka kemudian mencoba menganalisis apakah kemudian perencana dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi dengan mengambil fokus pada kiprah dunia perencanaan di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Analisis mereka lebih lanjut kemudian mencoba mendefinisikan apa yang menjadi mandat moral dari profesi perencana.

Status perencana dalam dunia perencanaan di Indonesia sudah terlanjur mendapat cap sebagai salah satu "profesi" di masyarakat. Hal yang sering luput dari perhatian sebenarnya adalah apakah memang status perencana itu memang pantas untuk disebut sebagai sebuah profesi, atau bahkan apakah sebenarnya yang disebut dengan profesi itu. Pertanyaan ini secara filosofis akan mengarah pada hal-hal apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para profesional sebagai pelaku aktif dari profesi tersebut. Tanpa sebuah kajian mendalam mengenai hal ini, maka mungkin stempel keprofesian yang melekat pada status perencana dalam dunia perencanaan di Indonesia hanya digerakkan atas dasar mitos dan pemahaman semu akan keharusan untuk berkontribusi bagi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, maka sebuah restrukturisasi pemahaman akan diperlukan untuk mengevaluasi dan merumuskan arah atau fokus pengembangan dunia perencanaan di Indonesia.
Meskipun begitu, perlu diperhatikan bahwa logika yang berkembang dalam wacana keseharian sebenarnya akan memperlihatkan bahwa sebenarnya perbedaan antara apa yang kita sebut dengan profesi (profession) dan pekerjaan (occupation) adalah sangat tipis. Pemisahan diantara keduanya memang seringkali tidak dianggap terlalu penting untuk dilakukan. Hal ini kemudian menjadikan arti kata profesi sendiri cenderung meluas dan biasa digunakan untuk semua konteks pekerjaan. Selain itu, penggunaan kata profesi dan profesional kemudian sering digunakan untuk memperhalus gaya bahasa dan menambah kesan eksklusif atau prestise dari apa yang diungkapkan.
Secara umum, profesi seringkali dipahami sebagai sebuah fungsi kerja atau kegiatan yang terspesialisasi dalam masyarakat, dan biasanya dilakoni oleh mereka yang disebut sebagai kaum profesional. Dalam pemahaman yang lebih terbatas, profesi kemudian mengacu secara spesifik pada bidang-bidang yang memerlukan pendidikan tertentu atau penguasaan atas suatu pengetahuan tertentu yang terspesialisasi. Dalam perkembangannya, pemisahan antara kaum profesional dan non-profesional kemudian malah menyentuh aspek kritis dari definisi yang lebih liberal dari terminologi profesi, yaitu untuk dibayar atas apa yang mereka lakukan. Definisi semacam ini justru kemudian mengaburkan definisi konseptual dari profesi itu sendiri, karena akan sangat banyak bidang pekerjaan yang memperoleh bayaran tetapi mungkin tidak cocok dengan persyaratan utama yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebuah pemahaman yang cukup mendasar dalam pembedaan antara profesi dengan pekerjaan biasan kemudian disajikan oleh Jerome E. Bickenbach dan Sue Hendler pada tahun 1998. Dalam eseinya, mereka memaparkan sebuah pemahaman bahwa profesi
merupakan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan pekerjaan biasa, dimana profesi berkaitan dengan benda sosial sebagai tujuan dan alasan keberadaannya, dan membutuhkan orang-orang yang menyebut dirinya profesional untuk bekerja keras mencapai tujuan yang lebih jauh. Profesi, dalam pengertian singkatnya, dikarakterisasi oleh adanya suatu mandat moral.

Lebih jauh, dalam analisisnya, Bickenbach dan Hendler kemudian memaparkan beberapa karakteristik yang menjadi persyaratan dari suatu pekerjaan atau kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi2 . Karakteristik-karakteristik tersebut adalah (Bickenbach-Hendler, 1998) :

  1. Suatu profesi haruslah muncul dari kumpulan orang-orang yang memiliki spesialisasi yang hanya diketahui dan dimengerti oleh beberapa orang saja, atau pengetahuan sistematis (atau keahlian maupun seni) yang tidak diketahui oleh umum atau tersedia untuk semua orang. Pengetahuan atau serangkaian keahlian inilah yang menjadi andalan seorang profesional. Hal yang membedakan suatu keahlian profesional bukan terletak pada kedalaman intelektualnya, tetapi eksklusivitasnya : tidak setiap orang yang menginginkan dapat menjadi bagian dari profesi ini. Jadi, seorang profesional ialah seseorang yang telah belajar (dan seringkali bekerja dalam jangka waktu yang lama untuk dapat belajar) mengenai kerangka maupun penjelasan suatu pengetahuan.
  2. Suatu profesi harus melibatkan komunitas yang terdiri dari individu-individu pembelajar, profesional yang membagi pengetahuan/visi umum mengenai nilai sosial dan rasional mengenai profesi mereka. Pembangunan komunitas ini akan secara tegas mengeksklusifkan kalangan profesional dengan tujuan untuk pengembangan keprofesian mereka. Dalam konteks inilah kemudian berkembang sebuah pemahaman terbatas bahwa profesi lebih dari sekedar pekerjaan, tetapi merupakan suatu bentuk kehidupan atau gaya hidup.
  3. Suatu profesi harus menyediakan pelayanan yang secara riil memberikan keuntungan bagi masyarakat, sejauh yang mereka promosikan, atau memberikan contoh, penjelasan pribadi mengenai benda sosial. Profesi menimbulkan sebuah status sosial tersendiri bagi para profesional, termasuk hak-hak istimewa tertentu dalam masyarakat, dengan meng-klaim ekskluisivitas kognitif mengenai keahlian profesional mereka. Tetapi, secara signifikan, klaim ini menjadi lemah kecuali apabila pelayanan yang bergantung pada keahlian mereka itu secara jelas dan demonstratif memberikan keuntungan bagi masyarakat. Status sosial dari kepemilikan profesional adalah sedemikian rupa merupakan hasil dari persepsi dimana kontribusi seseorang itu adalah sesuatu yang berharga/spesial bagi masyarakat, sesuatu yang masyarakat tidak dapat melakukan apa-apa tanpanya. Terkadang hal ini merupakan persepsi dimana suatu profesi bergantung pada struktur normatif; tanpa fondasi ini dalam benda-benda sosial, suatu profesi diduga akan kekurangan mandat moral yang penting bagi kelangsungan tuntutan terhadap status sosial profesional. Dalam konteks inilah, mandat moral suatu profesi menjadi sesuatu yang vital untuk didefinisikan.
  4. Suatu profesi haruslah berada di dalam pengawasan, serta berada dalam otonomi keahlian yang mendefinisikan kontribusi sosialnya terhadap masyarakat. Adalah krusial untuk menjaga kontrol terhadap komunitas suatu keprofesian itu dari dalam. Dengan kata lain, hanya seorang profesional yang mampu menaksir, mengesahkan dan berkontribusi dalam keahliannya. Selain dalam kerangka menjaga komunitas, otonomi dalam hal ini juga berarti otonomi atau kemandirian dalam hal pengimplementasian keahlian atau pengetahuan suatu profesi. Apabila kekuatan luar mampu mendikte siapa yang menjadi profesional atau apa yang perlu dimiliki suatu keahlan (apabila terdapat peraturan yang lengkap mengenai organisasi profesional), maka kita akan mendapatkan tekanan yang sangat berat untuk mendapatkan hasil dari profesi yang sebenarnya. Suatu profesi haruslah, apabila menghadapi tekanan eksternal, mampu mengembalikan kepada dirinya sendiri otoritas final melampaui keahliannya. Profesi harus memiliki derajat otonomi atau kemandirian dan pengakuan terhadap bidang keahliannya. Dalam hal inilah kemudian seorang profesional dapat mengklaim opini atau penilaian mereka sebagai sebuah "penilaian profesional" (professional judgement) yang harus diakui oleh mereka yang berada diluar keprofesian tersebut.
  5. Suatu profesi harus diorganisasikan sebagai asosiasi yang eksklusif, dengan mekanisme yang berada di tempat untuk mengamankan otonomi dari keahlian tersebut. Karakteristik ini kemudian biasanya diwujudkan dengan keberadaan sebuah organisasi atau asosiasi keprofesian yang mengatur segala urusan dalam sebuah komunitas keprofesian di suatu wilayah atau negara. Organisasi inilah yang kemudian secara resmi memiliki otoritas untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan eksistensi dan pengembangan dunia keprofesiannya di wilayah atau negara tersebut.

Sebenarnya, dalam kerangka pengertian atau definisi dari profesi itu sendiri ada cukup banyak referensi yang memaparkan persyaratan-persyaratan tersebut. Akan tetapi, karakteristik yang diungkapkan oleh Bickenbach dan Hendler ini penulis anggap paling general atau paling lengkap dan mencakup hampir semua karakteristik yang terungkap dalam referensi-referensi lain.

Profesi tradisional dari hukum, kesehatan dan teologi memenuhi semua kriteria diatas. Bagaimanapun banyak pekerjaan lain yang secara meningkat, karena menikmati keuntungan sosial yang diciptakan oleh pengklasifikasian pekerjaan tersebut ke dalam suatu profesi dan profesionalisme, berusaha memenuhi syarat tersebut. Demikianlah hal ini kemudian menimbulkan perdebatan mengenai status profesional dari perencanaan.

II. Menguji Ulang Status Ke-profesi-an Perencanaan di Indonesia


"...Akan selalu ada jarak antara idealisme dan kenyataan. Yang harus terus kita perjuangkan adalah bagaimana memperkecil jarak itu di zaman kita, sehingga bisa menjadi dasar bagi generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan di zaman mereka..."
-NN-


Jerome E. Bickenbach dan Sue Hendler dalam makalahnya mencoba menguji apakah perencanaan dapat dikategorikan sebagai suatu profesi berdasarkan 5 (lima) syarat yang mereka anggap sebagai ciri-ciri utama dari suatu profesi. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa perencanaan memang dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi dengan catatan-catatan tertentu dalam setiap syarat tadi. Atau dengan kata lain, perencanaan hanya mampu memenuhi kelima syarat tadi dalam derajat-derajat tertentu yang tidak mutlak.

Akan tetapi, pemenuhan kelima syarat tadi juga sebenarnya akan sangat bergantung pada konteks ruang dan waktu dimana "ujian" atau pengamatan tadi dilakukan. Bickenbach dan Hendler mungkin dapat mengambil kesimpulan untuk konteks perencanaan di Amerika Serikat dan Kanada, tetapi tetap saja akan terlalu gegabah apabila kesimpulan itu digeneralisasi untuk perencanaan secara umum, termasuk untuk konteks Indonesia. Kondisi sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia jelas berbeda dengan di Amerika atau Kanada, dan paradigma yang populer untuk perencanaan di Indonesia saat ini juga mungkin berbeda.


Bagian ini akan mencoba mengupas kembali status keprofesian perencanaan di Indonesia, dengan mengacu pada lima ciri utama dari profesi seperti yang diungkapkan oleh Bickenbach dan Hendler.

1. Specialised Knowledge
Salah satu ciri utama yang membedakan antara profesi dengan pekerjaan biasa adalah bahwa profesi dibangun diatas suatu basis ilmu yang unik, spesial dan berbeda dengan disiplin ilmu lain. Basis ilmu inilah yang kemudian bisa membedakan dengan jelas antara satu profesi dengan profesi lain. Untuk itu, maka perencanaan juga pertama-tama perlu untuk mendefinisikan basis ilmu apakah yang bisa mendasari klaim keprofesiannya.
Menurut sejarahnya akar dari perencanaan adalah di bidang kesehatan publik, teknik sipil, arsitektur dan selanjutnya ilmu pengetahuan melengkapinya guna mencapai pengetahuan yang spesifik dan didasari oleh aspek tata guna lahan. Ketika perencanaan semakin matang, bagaimanapun hal ini mulai memperluas jangkauannya termasuk keragaman sosial, ekonomi dan isu-isu kesehatan yang muncul di lingkungan kota dan wilayah. Keragaman bidang ilmu dan keahlian yang mendasari perencanaan inilah yang menjadikan perencanaan seolah kehilangan pegangan dalam mendefinisikan basis ilmunya. Perencanaan membutuhkan apa yang disebut "dasar substantif" untuk membedakannya sebagai sebuah profesi, atau lebih tepatnya, untuk menutupi kekurangannya.
Dalam pemahaman yang ditumbuhkembangkan sampai saat ini, ilmu perencanaan dipahami sebagai sebuah ilmu yang multi-disiplin, gabungan dari berbagai ilmu lain. Meskipun diungkapkan bahwa pada awalnya basis ilmu perencanaan adalah ilmu guna lahan, tetapi perkembangan ilmu perencanaan saat ini sudah menyentuh demikian banyak ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial, sehingga tidak jelas lagi basis ilmu guna lahan tersebut. Ketidakjelasan ini kemudian memaksa organisasi-organisasi perencanaan di berbagai negara kemudian berusaha mendefinisikan sendiri rangkaian pengetahuan dan keahlian yang perlu dimiliki oleh perencana, sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Hal ini kemudian justru dapat dijadikan sebuah alasan mengapa perencanaan tidak bisa meng-klaim suatu keahlian yang unik atau khusus, karena keahlian itu tidak terlihat sebagai sebuah set keahlian yang -sebagai contoh perbandingan, ilmu hukum atau kedokteran- satu dan koheren. Sebaliknya, bidang perencanaan merupakan suatu keahlian yang multi-disiplin yang menuntut cakupan keahlian dan dasar ilmu pengetahuan yang cukup luas.
Untuk konteks Indonesia, kasusnya tidak jauh berbeda. Dalam buku "40 Tahun Pendidikan Planologi di Indonesia" yang diterbitkan oleh Departemen Planologi ITB disebutkan bahwa dasar dari ilmu perencanaan di Indonesia adalah perencanaan fisik, dan saat ini berkembang ke arah social science. Perkembangan ini membawa pendidikan perencanaan di Indonesia pada kegamangan yang sama mengenai basis ilmu, meskipun kami mengakui bahwa perkembangan itu sebenarnya merupakan perkembangan yang positif dalam pengertian bahwa pensinergian social science dengan ilmu-ilmu perencanaan fisik memang diperlukan oleh para perencana untuk dapat berkiprah dalam masyarakat.
Pada akhirnya, perencanaan mungkin hanya akan memenuhi persyaratan keunikan ilmu ini apabila ilmu "menggabungkan" atau "pencampuran" dari berbagai logika ilmu itu dapat dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang tersendiri. Dengan kata lain, apabila ada suatu disiplin ilmu yang intinya adalah bagaimana menggabungkan berbagai logika untuk suatu tujuan, maka disiplin ilmu itulah yang sebenarnya menjadi basis ilmu dari perencanaan. Tapi apakah memang ada ilmu semacam itu ? Atau dengan kata lain, apakah keahlian "pensinergisan logika" tadi memang bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri ? Perdebatannya memang sangat rumit dan sulit untuk disimpulkan. Adapun makalah ini tidak bermaksud untuk meninjau secara epistemologis untuk dijadikan titik terang dalam perkara ini. Terus terang, penyusun tidak memiliki metode penelitian dan referensi yang cukup untuk melakukannya. Lebih lanjut, akan lebih bijak apabila kita kemudian tidak membuat pembenaran-pembenaran dalam hal basis ilmu ini, sebelum memang ada sebuah kejelasan atau referensi yang cukup untuk mengkajinya
Konsekuensinya, sampai hal itu dilakukan, berarti secara umum memang perencanaan di Indonesia, sebagaimana dunia perencanaan secara umum juga belum bisa dikatakan memiliki basis ilmu yang jelas. Dengan kata lain, konsekuensinya, perencanaan di Indonesia masih belum bisa memenuhi persyaratan mengenai ilmu yang terspesialisasi ini.
Kesimpulan yang diambil disini cukup berbeda dengan kesimpulan yang diambil Bickenbach-Hendler, dimana merekamemilih opsi untuk membenarkan pemikiran bahwa "pensinergian logika" memang dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Konsekuensinya, dalam tingkatan tertentu, perencanaan dianggap dapat memenuhi persyaratan basis ilmu ini.

2. Initiation
Ciri inisiasi yang dimaksud adalah apakah perencanaan itu memiliki suatu komunitas pembelajar, dimana keanggotaan dari komunitas ini cukup eksklusif dan terbatas dalam pengertian memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh komunitas. Secara umum dapat kita katakan bahwa perencanaan mampu memenuhi persyaratan ini, dimana komunitas perencana merupakan suatu komunitas yang terbatas pada perencana-perencana yang telah memenuhi persyaratan akreditasi pendidikan tertentu dan telah menempuh tingkat pengalaman yang tertentu pula (walaupun perlu disadari sulitnya melakukan standardisasi tingkat pengalaman tersebut).
Untuk konteks Indonesia, penerimaan dan standardisasi keanggotaan dalam komunitas perencana ini diatur oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), contohnya dengan keberadaan Badan Sertifikasi Perencana (BSP) dalam tubuh IAP. BSP ini memberikan sebuah sertifikasi bagi para perencana di Indonesia sebagai sebuah bentuk pernyataan bahwa perencana yang bersangkutan memang mampu untuk menjalankan tugas dan perannya dalam masyarakat sesuai dengan standar IAP. Salah satu standar yang diterapkan adalah bahwa perencana yang bersangkutan telah menempuh pendidikan perencanaan. Bisa kita sebut bahwa seharusnya hanyalah perencana-perencana yang telah tersertifikasi inilah yang boleh berpraktek di Indonesia dan diakui oleh klien-kliennya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah memang pada kenyataannya seluruh perencana yang berpraktek di Indonesia memang perencana-perencana yang telah tersertifikasi atau minimal adalah anggota dari komunitas perencana di Indonesia yang disimbolkan dengan IAP. Selain itu, patut juga menjadi pertanyaan apakah ada perencana-perencana di Indonesia yang berpraktek atau diakui oleh kliennya tetapi tidak disertifikasi oleh BSP ini, atau bahkan apakah ada pihak-pihak yang menjalankan praktik-praktik perencanaan tetapi tidak berasal dari sebuah institusi pendidikan perencana. Yang lebih mendasar lagi, sejauh mana sertifikasi ini diakui oleh dunia perencanaan itu sendiri dan masyarakat "penggunanya" di Indonesia ? Terlepas dari kondisi riil yang terjadi sehubungan dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, tetap bisa kita akui bahwa setidaknya usaha-usaha untuk inisiasi itu sudah ada, dan berarti perencanaan di Indonesia memenuhi ciri profesi yang satu ini.


3. Societal Role
Peranan sosial merupakan satu ciri lain dari profesi, dalam konteks bahwa profesi ini harus memiliki satu tempat atau peranan dalam kehidupan masyarakat. Peranan sosial ini ternyata sangat bergantung pada konteks sosial politik masyarakat dimana perencana itu berada. Dengan kata lain, perencana di satu tempat dan waktu dengan tempat dan waktu lain sangat mungkin memiliki spesifikasi peran sosial yang berbeda. Salah satu cara termudah untuk mengidentifikasi peranan sosial perencana di satu tempat adalah dengan melihat kode-kode perencana yang berlaku di tempat itu.
Tujuan itu biasanya adalah memperjuangkan keadilan sosial dan perhatian terhadap kelestarian lingkungan. Misalnya, The Royal Town Planning Institute Code (RTPI 1986) secara jelas mengarahkan perencana Inggris untuk mengurangi diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan. Sedangkan The Code of The Canadian Institute of Planner (CIP 1986) membutuhkan perencana yang memastikan aspirasi-aspirasi kelompok yang tidak diuntungkan dapat terdengar sebanyak mungkin. Untuk bagian ini, The American Institute of Certified Planners Code (AICP 1981) mengingatkan perencana akan perlunya rencana untuk kelompok yang tidak diuntungkan, sebagaimana rencana kelestarian alam dan memperjuangkan keterlibatan warga.
Pendeknya, jika kode-kode ini dipercaya, kebutuhan sosial akan kelestarian alam dan kesetaraan sosial adalah tersirat dalam diri seorang perencana dan karenanya menjadi bagian pembentuk profesi. Lebih dalam lagi, kebutuhan sosial ini tetap dan tidak terpengaruh oleh iklim politik yang sedang berlangsung. Banyak perencana Afrika Selatan, misalnya, yang dituntun oleh semangat kesetaraan, pandangan anti apartheid, bahkan ketika politikus yang mempekerjakan memiliki jalan pikiran yang berbeda.
Apabila kita melihat kode etik perencana Indonesia versi IAP, dapat kita identifikasi juga peranan sosial yang harus dijalankan oleh perencana-perencana di Indonesia. Satu hal yang bisa kita sebut sebagai sebuah prasyarat dasar agar peranan itu dapat dijalankan secara optimal adalah harus ada suatu pemahaman dan pengetahuan yang cukup antara dua belah pihak, perencana dan masyarakat umum, mengenai peranan sosial masing-masing.
Kondisi masyarakat Indonesia berbeda dengan kondisi masyarakat Amerika atau Kanada atau negara-negara barat lain. Masyarakat negara-negara maju relatif sudah lebih memahami hak-hak dan peran sosial mereka, dan peran sosial yang mereka harapkan dari para perencananya. Sebaliknya, masih belum bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki pemahaman yang serupa. Mudahnya, pertanyaannya adalah apakah memang masyarakat mengetahui bagaimana seharusnya peranan perencana dalam kehidupan mereka ? Atau yang lebih mendasar, apakah sudah seluruh masyarakat mengetahui keberadaan dari dunia perencanaan itu sendiri ? Ini adalah sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar bodoh, tetapi apakah kita sudah yakin bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah "ya" ?
Apabila memang ternyata masyarakat belum mengetahui apa yang seharusnya dunia perencanaan (atau perencana) lakukan untuk mereka, lalu untuk siapakah para perencana melakukan peranannya itu ? Analoginya adalah apabila kita memiliki suatu tugas besar tetapi sebenarnya tidak ada yang memberikan tugas itu, dan pada akhirnya kita tidak tahu untuk siapa kita mengerjakan tugas itu karena pihak yang kita harapkan menggunakan hasil kerja kita justru bahkan tidak mengetahui keberadaan kita. Atau contoh lain, kita akan dengan sendirinya memutuskan untuk pergi berobat ke seorang dokter gigi apabila kita sakit gigi, karena kita sudah tahu profesi mereka dan mandat moral keprofesian mereka untuk mengobati gigi pasiennya. Para perencana di Amerika dan Kanada memiliki tanggung jawab pada masyarakat karena memang masyarakat berharap pada kemampuan mereka untuk turut berperan dalam kehidupan sosial, tetapi kita tidak bisa mengatakan hal serupa untuk perencana di Indonesia karena kita juga tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat Indonesia juga sudah memiliki harapan tertentu terhadap mereka.
Apabila kita berpedoman pada kode etik perencana seperti yang tertuang dalam dokumen IAP, mungkin bisa kita katakan bahwa dunia perencanaan di Indonesia mampu memenuhi ciri profesi yang satu ini. Akan tetapi untuk mengoptimalkan pemenuhan ciri ini secara riil, dunia perencanaan Indonesia memiliki tugas untuk dapat memasyarakatkan perencanaan itu sendiri, dan melakukan pembelajaran sosial secara luas untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perencanaan. Sebuah kewajiban yang sebenarnya juga sudah tertuang dalam kode etik perencana Indonesia versi IAP itu sendiri.


4. Autonomy
Otonomi seperti yang dimaksudkan oleh Bickenbach dan Hendler (1998) dapat dilihat dari dua pendekatan. Yang pertama adalah dari segi disiplin ilmu, dimana basis ilmu yang digunakan dalam perencanaan merupakan suatu basis ilmu yang unik dan merupakan satu-satunya ilmu yang dijadikan rujukan untuk menyikapi isu-isu yang berhubungan dengan perencanaan. Yang kedua adalah dari segi apakah kemampuan atau produk yang dihasilkan oleh perencana itu diakui oleh masyarakat secara umum dan kliennya secara khusus, dalam pengertian apakah klien dan masyarakat itu "tunduk" terhadap produk rencana yang dihasilkan (seperti halnya seorang pasien akan tunduk untuk memenuhi isi resep yang ditulis oleh dokternya). Bickenbach dan Hendler (1998) mengakui dan menyimpulkan bahwa perencanaan sebenarnya sangat sulit untuk memenuhi ciri ini, terutama dari pendekatan kedua dimana secara praktek yang terjadi justru seringkali sebaliknya, yaitu perencana dalam membuat suatu rencana seringkali tunduk pada keinginan kliennya atau harus memenuhi keinginan masyarakat agar masyarakat mau menerima produk rencana itu. Pendekatan pertama pun hanya bisa terpenuhi dengan "pembenaran" seperti yang telah diungkapkan pada ciri pertama (specialised knowledge), karena sekali lagi, kita masih belum bisa menegaskan apakah sebenarnya perencanaan itu memiliki basis ilmu yang diskrit dan unik atau tidak.
Perencanaan di Indonesia pun sebenarnya menemui kasus yang serupa, baik dari segi ilmu maupun pengakuan terhadap hasil rencana. Kekuatan dari perencana di Indonesia untuk "memaksakan" hasil rencananya pada masyarakat masih sangat lemah. Perencana mungkin cukup otonom dalam teknis penyusunan rencana, akan tetapi sama sekali tidak otonom dalam hal keputusan politis apakah rencana itu akan diterima atau tidak. Selain mungkin karena masih sangat kurangnya pemahaman sosial masyarakat mengenai urgensi perencanaan itu sendiri, sistem yang ada juga memang mengisyaratkan bahwa keputusan politik itu sepenuhnya terletak di tangan eksekutif pemerintahan (Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintah daerah) tanpa ada suatu peraturan yang mengharuskan pemerintahan itu untuk memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari perencana dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, tidak dapat kita pungkiri bahwa sedikit banya perencana juga seringkali berperan dalam pengambilan keputusan itu, dimana hal itu tergantung dari political good will pemerintahnya.


5. Self-Regulation
Ciri terakhir yang harus dimiliki oleh suatu profesi adalah kemampuannya untuk mengatur diri sendiri dalam pengertian memiliki suatu lembaga resmi yang mampu memayungi para profesional atau mereka yang bergerak dalam profesi itu. Lembaga ini harus mampu mengayomi dan menegakkan peraturan apabila ada anggotanya yang melanggar aturan-aturan yang telah digariskan untuk menjaga kelangsungan hidup profesi itu dalam masyarakat.
Dunia perencanaan di Indonesia telah memiliki IAP sebagai salah satu lembaga keprofesian itu. Dan IAP juga telah berusaha untuk melakukan fungsi-fungsinya sebagai sebuah lembaga keprofesian, diantaranya dengan usahanya untuk merumuskan kode etik perencana Indonesia dan membentuk suatu badan sertifikasi melalui BSP. IAP juga memiliki hak dan wewenang untuk memberikan sanksi bagi anggotanya (perencana) yang melanggar kode etik yang telah dirumuskan tersebut, meskipun pada kenyataannya memang kasus penjatuhan sanksi itu belum pernah terjadi di IAP.
Pertanyaannya sekarang adalah, meskipun IAP mungkin telah diakui secara nasional baik oleh masyarakat maupun oleh sebagian instansi pemerintahan, sejauh mana IAP telah diakui dan dirasakan manfaatnya oleh para perencanana Indonesia itu sendiri, dan sudah sejauh mana IAP mampu mengayomi dunia perencanaan di Indonesia secara riil ? Meskipun kode etik itu sudah ada, seberapa penting kode etik itu bagi para perencana di Indonesia dalam menjalankan praktiknya ? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup substansial karena mengingat meskipun keberadaan IAP secara de jure sudah cukup bagi dunia perencanaan di Indonesia untuk memenuhi ciri self regulation, akan tetapi secara de facto kita masih belum dapat mengambil kesimpulan serupa.
Dari uraian di atas mengenai pengujian ulang status keprofesian dunia perencanaan di Indonesia, kesimpulan yang bisa kita ambil mungkin adalah bahwa kita masih perlu meragukan dunia perencanaan di Indonesia sebagai sebuah profesi, mengingat derajat pemenuhan kelima ciri tadi relatif masih sangat rendah. Atau dengan kata lain, dunia perencanaan di Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi.
Keberadaan IAP mungkin menunjukkan bahwa perencanaan di Indonesia telah diakui sebagai sebuah profesi, tetapi tetap saja akan sangat absurd untuk menyatakan itu apabila hakikat profesi dipandang dari kelima ciri tersebut. Meskipun begitu, hal ini masih dapat berubah apabila IAP sendiri mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai sebuah lembaga keprofesian, terutama dalam hal pengayoman terhadap anggota (dan sebaliknya, para perencana di Indonesia juga harus memberikan perhatian lebih pada IAP dan kode-kode etik perencana yang telah digariskan oleh IAP) dan dalam hal pembelajaran sosial yang lebih luas kepada masyarakat mengenai dunia perencanaan. Hal ini juga harus diikuti dengan adanya penegasan mengenai basis ilmu perencanaan, terutama penegasan mengenai apakah ilmu yang inter-disiplin atau "ilmu mengenai pensinergian berbagai logika untuk mencapai suatu tujuan" dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu yang diskrit dan unik atau tidak.

III. Adakah Mandat Moral dari Perencanaan di Indonesia ?


"... Within great power comes great responsibilities. The greater the power you have, then grater responsibilities you have to carry. You just have to live with that..."
-Benjamin Parker, dalam film Spideman"


Apabila memang hal utama yang menjiwai atau menjadi karakter dari suatu profesi adalah keberadaan suatu mandat moral, maka mungkinkah bisa kita katakan bahwa perencanaan di Indonesia sebenarnya tidak memiliki mandat moral itu ? Tentu, apabila kita ingin konsekuen dengan kesimpulan yang kita capai pada pembahasan sebelumnya, maka kita harus bisa berbesar hati untuk mengatakan itu.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan lain lagi, yaitu benarkah bahwa mandat moral itu hanya dimiliki oleh sebuah profesi, dan mengapa pekerjaan biasa tidak ? Pertanyaan ini muncul karena meskipun kita telah menyimpulkan bahwa perencanaan di Indonesia belum bisa dikatakan sebagai sebuah profesi, ternyata kita masih belum bisa lepas dari paradigma bahwa sedikit banyak perencana itu tetap memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.

Lebih jauh lagi, merupakan sesuatu yang cukup diskriminatif apabila kita langsung menyetujui pernyataan bahwa hal utama yang membedakan profesi dengan suatu "pekerjaan biasa" adalah keberadaan mandat moral, dalam pengertian kita harus bisa mengakui bahwa pekerjaan-pekerjaan biasa (atau non-profesi) itu tidak memiliki tanggung jawab sosial mandat moralnya sendiri-sendiri. Meskipun memang disebutkan bahwa kedua hal tersebut, baik profesi maupun pekerjaan non-profesi, sama dalam hal keduanya harus dilakukan secara jujur dan kompeten oleh si pelakunya, akan tetapi tetap saja tidak bisa kita langsung menjustifikasi bahwa suatu pekerjaan biasa tidak memiliki pengaruh/dampak sosial dalam masyarakat seperti halnya suatu profesi. Keduanya tentu memiliki suatu tempat atau pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Akan menjadi hal yang berbeda lagi apabila kita bicara tingkatan atau sebesar apa pengaruh sosial itu. Dalam konteks ini mungkin bisa kita katakan bahwa dampak sosial, dan begitu juga kewajiban sosial dan mandat moral, dari suatu profesi relatif (dirasa) lebih besar dibanding suatu pekerjaan yang non-profesi.

Yang harus dijelaskan saat ini untuk menjawab pertanyaaan tersebut tergantung pada seberapa besar pemahaman kita mengenai peran perencanaan yang tepat dalam suatu struktur kota, atau fungsi perencanaan dalam proses politik, dan posisi perencana di dalam masyarakat yang kontemporer secara keseluruhan.

Sedikitnya ada 4 pendekatan untuk mendefinisikan tugas moral dari perencanaan (Bickenbach-Hendler, 1998). Pendekatan ini meliputi :
1. Pemeriksaaan terhadap konteks dalam fungsi perencanaan dan peran yang bisa dibangun.
2. Identifikasi terhadap nilai-nilai yang melekat pada perencana dan diwujudkan dalam pekerjaan mereka.
3. Analisis terhadap kode etik profesi perencana.
4. Kritik atau pendapat filosofis dalam "wadah" perencanaan sosial di mana perencana harus memenuhinya.

Setiap pendekatan yang diberikan di atas mewakili kelompok khusus dari pertimbangan etik secara profesional. Pendekatan pertama lebih mengacu pada posisi atau peranan politis perencana dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kita tahu bahwa posisi inipun berkembang secara dinamis dari masa ke masa. Friedmann (1987) dengan baik menggambarkan perkembangan posisi perencana ini, seiring dengan perkembangan logika perencanaan yang dianut pada masa itu. Friedmann melakukan suatu studi historis mengenai berbagai dialektika peran perencana dengan logika-logika yang melatarbelakanginya. Menurut paparannya, perkembangan logika perencanaan setidak-tidaknya terbagi kedalam empat tipe, yaitu planning as social reform, planning as policy analysis, planning as social learning dan planning as social mobilization.

Logika planning as social reform menempatkan perencanaan sebagai bagian dari aparatur negara. Dalam hal ini, perencana diposisikan sebagai teknokrat yang mendengarkan pandangan masyarakat tetapi tidak harus memperhatikannya. Ide dasar reformasi sosial adalah bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial.

Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) bertujuan untuk menyajikan pilihan dan menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan. Para perencana diposisikan sebagai seorang analis dan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada tanpa ada tendensi untuk melakukan perubahan relasi kekuasaan.

Tradisi lain yang kemudian muncul adalah planning as social learning. Bagi tradisi ini, pengetahuan bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman dan disempurnakan lewat praktek. Retorikanya adalah learning by doing. Ide utama tradisi social learning ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.

Tradisi keempat, tradisi logika mobilisasi sosial, merupakan sebuah tradisi yang sangat kontras dengan tradisi reformasi sosial. Tradisi ini memandang perencanaan sebagai panduan sosial, sangat berbeda dengan perencanaan sebagai perubahan struktur dan sebagai transformasi sosial. Tipe perencanaan seperti itu dinamakan perencanaan radikal. Oleh karena itu, posisi dan peran perencana sangat ditentukan oleh logika-logika perencanaan yang radikal pula. Dan peran-peran perencana menurut perencanaan radikal itu termasuk menyediakan catatan-catatan kritis atas situasi saat ini menuju suatu perubahan, membantu komunitas dan kelompok yang siap bergerak menemukan solusi-solusi praktis untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, mendorong penguatan kapasitas komunitas untuk menemukan strategi-strategi yang akurat dan membantu komunitas untuk merumuskan kembali aspek-aspek teknis dari solusi-solusi untuk perubahan. Yang lebih penting dari peran-peran tersebut adalah perencana harus memiliki komitmen secara ideologis untuk mendorong terjadinya transformasi pada komunitas dan tidak pernah membuat jarak dengan komunitas tersebut.

Dengan mencermati berbagai perkembangan logika perencanaan di atas, satu hal yang dapat disarikan adalah bahwa memang dunia perencanaan itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat yang ada didalamnya. Logika perencanaan inilah yang pada gilirannya akan menjadi nilai-nilai (value) yang dipegang oleh perencana dalam menjalankan peranannya. Hal ini terkait dengan pendekatan kedua dalam menentukan mandat moral dari perencana.

Fenomena yang terlihat di Indonesia saat ini adalah bahwa bandul pemikiran dunia perencanaan dan kebijakan publik telah bergerak ke arah tradisi pembelajaran sosial dan mobilisasi sosial. Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, sangat sulit untuk merumuskan bagaimana perencana harus berperan. Selama ini peran perencana di Indonesia berkembang, sesuai dengan logika perencanaan yang mendasarinya dan dalam konteks apa perencana itu bergerak. Beberapa peranan dari perencana itu antara lain (Soegijoko, Budhy Tjahjati S., "Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia", Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002) :


• Perencana Teknis Administrasi, merupakan peranan tradisional perencana dalam konteks kepemerintahan, yaitu sebagai pakar teknis melayani kepentingan pemerintahan. Peranan ini dapat efektif bila pejabat atau pemimpin politis mendelegasikan kekuasaan pada perencana.
• Penggerak (Mobilizer), dalam pengertian perencana menjadi pihak yang memberikan inspirasi, dorongan, maupun pewacanaan dan himbauan pada masyarakat dalam konteks-konteks tertentu yang terkait dengan kepentingan implementasi maupun penyusunan rencana.
• Perantara (moderator), dimana perencana berperan sebagai perantara antara pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) untuk mulai menggulirkan proses perencanaan dan pelaksanaannya. Kemampuan teknis perencana perlu diiringi kemampuan politis dan berkomunikasi.
• Enterpreneur, peranan ini diperlukan untuk menggalang dana bagi pelaksanaan rencana yang telah disusun. Selain dana perencana perlu pula menggalang dukungan politis dan administratif.
• Advokasi, dalam pengertian perencana berperan untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya, penghuni suatu lingkungan, kelompok miskin, organisasi-organisasi, lembaga konsumen atau perusahaan.
• Peranan lain yang penting juga bagi para perencana adalah membantu dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Walaupun dalam hal ini perencana bukan pemegang peran utama namun memegang peranan kunci sebagai fasilitator.


Yang kemudian perlu untuk ditegaskan kembali adalah perlunya para perencana di Indonesia untuk merumuskan kembali peranan dan "posisi politis" mereka dalam konteks perencanaan yang partisipatif. Haryo Winarso dalam makalahnya "Perencanaan Dalam Era Transformasi" (Disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001) mencoba merumuskan peranan perencana tersebut dan membaginya kedalam dua peranan besar, yaitu perencana sebagai manager perubahan dan perencana sebagai katalisator perubahan.
a. Perencana sebagai manager perubahan, dalam pengertian bahwa perencana berperan penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks keadaan ekonomi dan politik Indonesia (secara umum) yang belum stabil.
Dalam keadaan seerti itu, kemampuan managerial sangat penting bagi seorang perencana. Perencana berperan aktif dalam proses kolaboratif tersebut untuk mencapai keadaan yang stabil.
b. Perencana sebagai Katalisator perubahan. Perencana mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan masyarakat, sehingga tidak lagi terlelap oleh slogan demokratisasi dan partisipasi semu. Perencana mempunyai peran sangat besar sebagai katalisator perubahan dan menunjukkan arah yang benar dalam proses transformasi. Kemampuan perencana sebagai katalisator akan meredam konflik dan memberikan "pencerahan" pada masyarakat. Perencana harus mampu menghubungkan keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah untuk mencari legitimasi, tanpa dirinya sendiri larut terlalu jauh dalam proses tersebut. Involve but not disolve adalah kata yang tepat untuk menunjukkan peran perencana sebagai katalisator perubahan.

Dari pembagian dua peran besar tersebut, dapat kita sarikan bahwa inti peranan perencana dalam era perencanaan partisipatif ini adalah mengupayakan pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat untuk membawa perubahan sosio kultural ke arah yang kondusif untuk melaksanakan suatu perencanaan yang partisipatif. Pengertian kondisi sosio kultural yang kondusif dalam hal ini tidak lain adalah kondisi dimana masyarakat dengan kesadarannya sendiri mampu berinisiatif untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan yang memang dirinya menjadi stakeholders didalamnya. Saat ini, mungkin itulah peran dan sekaligus mandat moral yang dapat dijalankan oleh perencana Indoneisa.

Akan tetapi, apabila kita kembali pada konteks keprofesian, akan menjadi sesuatu yang rancu apabila mandat moral dan peranan dari sebuah profesi dapat sedemikian dinamis berkembang dan karenanya bisa membutuhkan proses redifinisi yang cukup dinamis pula.

Jalan tengah kemudian dapat diambil apabila kita menggunakan pendekatan ketiga dalam penentuan mandat moral itu. Analisis terhadap kode etik akan mengungkapkan logika dan nilai-nilai apa yang dianut oleh komunitas perencana di sebuah negara.
Apabila kita melihat kasus di berbagai negara, ternyata kode etik di berbagai negara itu berbeda satu sama lain. Kebanyakan studi mengenai nilai-nilai perencana telah dicantumkan dalam karakteristik suatu negara oleh pendekatan liberal yang adil terhadap aspek sosial, politik dan ekonomi. Ketika nilai kesetaraan sosial, demokrasi dan keadilan sebaik kesatuan lingkungan, menjadi nilai-nilai yang paling sering muncul pada kode etik perencanaan di berbagai negara (Bickenbach-Hendler, 1998), muncul satu pertanyaan dari temuan-temuan yang tergeneralisasi tersebut.

Sementara profesi hukum, pengobatan, dan arsitektur melibatkan beberapa set nilai yang secara umum konsisten dimanapun di belahan dunia, apakah hal yang sama berlaku untuk (nilai-nilai) perencanaan ? Bagaimanapun, kenyataan bahwa cukup banyak variasi nilai atau value yang dianut oleh para perencana di berbagai belahan dunia sudah cukup untuk menjadi indikasi awal bahwa nilai-nilai yang dianut dalam perencanaan ternyata tidak kebal terhadap politik, geografis, dan perbedaan budaya.

Di Indonesia, kode etik itu disediakan oleh IAP. Dalam kode etik perencanaan di Indonesia tersebut, tercantum dengan jelas bahwa praktik perencanaan di Indonesia harus mengutamakan kepentingan masyarakat atau publik, dalam pengertian bahwa suatu produk rencana harus disusun untuk membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Satu kerancuan yang kemudian terlihat adalah bahwa kode etik yang disusun oleh IAP tersebut secara umum memperlihatkan kecenderungan orientasi pada penyusunan suatu produk rencana pembangunan fisik. Sementara, apabila memang kecenderungan logika yang sedang berkembang di Indonesia adalah perencanaan yang sifatnya partisipatif sebagai sebuah bentuk pembelajaran sosial, bukankah pembelajaran sosial itu lebih mengutamakan proses dan penguatan masyarakat ketimbang sebuah produk akhir rencana ? Kondisi ini dapat diartikan sebagai dua hal. Pertama adalah penambahan mandat moral bagi perencana di Indonesia, dan yang kedua adalah sebaliknya, ada bias dalam penentuan mandat moral itu.

Cara keempat dan terakhir untuk mengidentifikasi mandat moral perencanaan adalah dengan pembangunan kritik filosofis dan argumen rasional. Secara umum, konsepsi seperti ini nampaknya belum pernah dilakukan di Indonesia. Kalaupun pernah, dokumentasi terhadapnya nampaknya tidak terlalu baik. Selama ini, mandat moral perencanaan di Indonesia kemudian dianut secara common sense, tetapi sekali lagi, kita belum pernah melihat adanya sebuah kesepakatan bersama mengenai pembangunan argumentasi itu.

IV. Penutup


"...Sesungguhnya tidak ada kata penutup, karena akhir dari sebuah wacana dan diskusi seharusnya menjadi awal dari sebuah tataran aksi..."
-Tim Civic Education, Satgas KM ITB untuk Pemilu RI 2004-


Peranan lebih perencana dalam era transformasi menuntut pihak perencana menjadi garda terdepan dalam membuat perubahan. Dan sejarah memang mencatat bahwa perubahan dimanapun selalu dimulai dan dimotori oleh middle class, atau kelas menengah dalam suatu sistem tatanan kehidupan. Apabila memang perencana ditempatkan dalam kelas menengah (diantara elit penguasa dan masyarakat yang termarjinalkan), maka tanggung jawab itu akan menjadi berat apabila pihak perencana belum mampu untuk mendekonstruksi mind-set atau paradigma perencanaan yang selama ini dianutnya.

Perubahan itu mungkin akan lebih terarah kita jalankan apabila memang komunitas perencana di Indonesia ini juga mulai fokus dalam menentukan bagaimana sebenarnya posisi dan peranan mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, perencana juga akan bisa fokus dalam memberikan manfaat atau kontribusi bagi masyarakat dalam pembangunan.

Salah satu alasan mengapa kita masih selalu gamang dalam mengkategorikan perencanaan sebagai sebuah profesi adalah ketidakjelasan kita mengenai basis ilmu perencanaan, mengingat perencanaan memang harus disokong oleh ilmu-ilmu yang inter-disiplin. Akan tetapi, apabila kita setuju dengan pernyataan sebelumnya bahwa mandat moral itu didasari oleh suatu basis ilmu yang dipelajari seseorang, kita mungkin akan menemukan bahwa sebenarnya mandat moral dari perencanaan itu ternyata justru banyak, lebih dari satu, sebanyak jumlah disiplin ilmu yang dipelajari dalam perencanaan itu. Ditambah lagi, terlepas dari apakah memang perencana itu dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi atau tidak, seorang perencana tentu tidak bisa melepaskan kewajiban-kewajiban moral normatif yang dibawanya sebagai seorang manusia dan sebagai bagian dari masyarakat.

Kalaupun kita ingin memaksakan untuk setidaknya mencari sebuah titik terang yang dapat mendasari pencarian kita akan mandat moral perencana secara universal, maka bisa kita sarikan dari pembahasan diatas bahwa hal yang mungkin menjadi titik temu dari semua logika dan nilai-nilai diatas hanyalah "kepentingan publik". Meskipun begitu, terminologi ini pun dapat sedikit banyak menyesatkan mengingat hal-hal atau nilai-nilai yang terkait dengan apa yang kita sebut domain publik (Friedmann, 1987) dan kepentingan publik itu bisa begitu banyak atau bahkan saling bertentangan.

Pemikiran mengenai perencanaan dan bagaimana seharusnya kontribusi sosial seorang perencana dalam masyarakat akan terus berkembang dan kita tidak dapat memprediksi kapan ia akan berakhir. Akan tetapi, mungkin justru dalam konteks inilah mandat moral perencana yang paling substantif muncul. Mungkin memang mandat moral perencana itu adalah untuk menjadi pihak yang selalu bergulat dalam pertentangan antar nilai. Pergulatan itu akan terjadi didalam dirinya, didalam komunitasnya, dan pada akhirnya akan berpengaruh pada masyarakatnya. Dalam konteks domain publik inilah kemudian mandat moral itu dapat kita sarikan, yaitu untuk bergelut dalam pertentangan antar nilai yang pasti terjadi dalam setiap proses pengambilan keputusan publik. Toh, tentu harus ada sebagian kecil dari masyarakat yang mengambil peran dan tanggung jawab itu. Bisakah pemahaman ini menjadi sebuah modal bagi perencana dan dunia perencanaan secara umum untuk meraih klaim atas status sebagai sebuah profesi ?

Referensi
• Bickenbach, Jerome E. and Sue Hendler, "The Moral Mandate of The ‘Profession’ of Planning", Values and Planning, 1998
• Calavita, Nico and Roger Caves, "Planners’ Attitudes Toward Growth : A Comparative Case Study", Journal of the American Planning Aassociation, Vol.60, No.4, American Planning Association, Chicago, 1994
• Friedmann, John (1987), "Planning in The Public Domain : From Knowledge to Action", Princeton University Press, Princeton-New Jersey. • Howe, Elizabeth and Jerome Kaufman, "The Ethics of Contemporary American Planners", APA Journal, American Planning Association, Chicago, July 1979
• Howe, Elizabeth, "Normative Ethics in Planning", Journal of Planning Literature Vol. 5, No.2, Sage Publications, November 1990
• Kraushar, R and Gardels, N, 1983, "Towards an Understanding of Crisis and Transition : Planning in an Era of Limits" in Paris, C., Critical Reading in Planning Theory, Pergamon Press, New York.
• Sapei, ST, "Demistifikasi Peran Planner Dalam Pembangunanisme", Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.
• Soegijoko, Budhy Tjahjati S., "Praktek dan Masa Depan Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota Di Indonesia", Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalis Institut Teknologi Bandung, 2 Maret 2002.
• Winarso, Haryo, "Perencanaan Dalam Era Transformasi", Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional "Pemikiran Perencanaan Dalam Era Transformasi", Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung, 8-9 November 2001.

No comments: