Wednesday, August 03, 2005


Pendidikan Tinggi :
Public atau Private Goods ?


Awan Diga Aristo
Teknik Planologi – ITB



Bab I
Pendahuluan


Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, perlu mulai ditelaah secara mendalam. Hal ini menjadi urgen setelah dalam praktiknya, status BHMN ternyata memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi. Tantangan-tantangan baru ini merupakan aspek-aspek yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri di Indonesia, termasuk bagaimana menumbuhkan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif, pengelolaan keuangan, kebebasan lebih besar dalam merumuskan kurikulum dan hal-hal lain yang terkait dengan bidang akademis, akuntabilitas publik dan sebagainya.

Saat ini, isu yang paling hangat dibicarakan mungkin adalah isu-isu seputar pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi, yang pada hakikatnya dilembagakan dalam institusi perguruan tinggi. Terkait dengan hal ini, perdebatan yang kemudian muncul justru kemudian melebar ke arah yang lebih filosofis, yaitu mengenai apakah pendidikan tinggi itu termasuk kedalam kelompok barang publik (public goods) atau kelompok barang privat (private goods). Perdebatan ini, sepertinya kemudian akan mengarah pada pembangunan justifikasi mengenai siapa yang harus menanggung sebagian besar biaya pendidikan tinggi.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perdebatan ini, satu kerancuan yang perlu kita perhatikan adalah mengapa di Indonesia perdebatan ini baru muncul saat ini, tepat ketika status BHMN pada beberapa PTN di Indonesia sudah berjalan selama beberapa tahun, dan tepat ketika mulai muncul suara-suara yang mempertanyakan semakin meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Mengapa perdebatan ini tidak muncul sejak saat pertama kali pendidikan tinggi diselenggarakan di bangsa ini ? Mengapa pemahaman yang sudah sejak lama terpatri dalam benak kita bahwa pendidikan adalah hak seluruh penduduk tiba-tiba harus digugat dan tiba-tiba pemahaman itu seolah hanya berlaku sampai tahap pendidikan menengah saja ? Mudahnya, mengapa baru sekarang ini status pendidikan tinggi sebagai bagian dari pendidikan formal yang semestinya harus membuka diri terhadap seluruh anak bangsanya menjadi cukup layak untuk dipertanyakan?

Perlu kita cermati, apakah sebenarnya perdebatan ini murni perdebatan filosofis atau sebuah wacana perdebatan yang sengaja digulirkan untuk menyusun suatu argumentasi pembenaran terhadap satu pihak.

Tulisan ini merupakan episode kedua dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai isu-isu yang berkembang seputar penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia pada umumnya, dan ITB pada khususnya (tulisan pertama membahas mengenai isu good university governance). Tulisan ini disusun tidak untuk memaksakan sebuah argumentasi atau pemikiran kepada pihak lain, melainkan dimaksudkan untuk menjadi sebuah bahan pemikiran bagi semua pihak yang merasa berkepentingan dengan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi di Indonesia, untuk kemudian bersama-sama merumuskan bagaimanakah seharusnya kita menempatkan pendidikan tinggi dan institusi perguruan tinggi tadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



Bab II
Pemahaman akan Terminologi
Public Goods dan Private Goods

2.1. Public Goods
Apa yang dimaksud dengan barang publik? Secara umum barang publik biasa dipahami sebagai sesuatu yang dapat dinikmati atau dibutuhkan oleh semua orang. Suatu barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Contoh barang publik ini diantaranya udara, cahaya matahari, papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan dan sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan papan marka jalan misalnya, karena keberadaannya memang untuk konsumsi semua orang.

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public goods) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Satu terminologi lain yang agak mirip adalah barang kolektif. Bedanya, barang publik adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sementara barang kolektif dimiliki oleh satu bagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil) dan hanya berhak digunakan secara umum oleh komunitas tersebut.

Barang publik memiliki dua sifat atau dua aspek yang terkait dengan penggunaannya, yaitu :
Non-rivalry. Non-rivalry dalam penggunaan barang publik berarti bahwa penggunaan satu konsumen terhadap suatu barang tidak akan mengurangi kesempatan konsumen lain untuk juga mengkonsumsi barang tersebut. Setiap orang dapat mengambil manfaat dari barang tersebut tanpa mempengaruhi menfaat yang diperoleh orang lain. Sebagai contoh, dalam kondisi normal, apabila kita menikmati udara bersih dan sinar matahari, orang-orang di sekitar kita pun tetap dapat mengambil manfaat yang sama, atau apabila kita sedang mendengar adzan dari sebuah mesjid misalnya, tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mendengarnya.
Non-excludable. Sifat non-excludable barang publik ini berarti bahwa apabila suatu barang publik tersedia, tidak ada yang dapat menghalangi siapapun untuk memperoleh manfaat dari barang tersebut atau dengan kata lain, setiap orang memiliki akses ke barang tersebut. Dalam konteks pasar, maka baik mereka yang membayar maupun tidak membayar dapat menikmati barang tersebut. Sebagai contoh, masyarakat membayar pajak yang kemudian diantaranya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jasa kepolisian misalnya, akan tetapi yang kemudian dapat menggunakan jasa kepolisian tersebut tidak hanya terbatas pada yang membayar pajak saja. Mereka yang tidak membayar pun dapat mengambil menfaat atas jasa tersebut. Singkatnya, tidak ada yang dapat dikecualikan (excludable) dalam mengambil manfaat atas barang publik.

Sebuah barang publik disebut sebagai pure public goods atau barang publik sempurna/murni apabila memiliki dua sifat ini secara absolut.

Efek-efek yang terkait dengan kedua sifat barang publik ini adalah :
Free riders. Free riders ini adalah mereka yang ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi tertentu, sementara sebenarnya ada pihak lain yang berkontribusi untuk mengadakan barang publik tersebut. Contohnya adalah mereka yang tidak membayar pajak tadi, tapi ikut menikmati jasa-jasa atau barang-barang yang diadakan atas biaya pajak. Contoh lain, sebuah jalan desa dibangun dengan kerja bakti. Free rider kemudian adalah mereka yang tidak ikut kerja bakti, tetapi kemudian ikut menggunakan jalan desa tersebut
Eksternalitas. Secara umum, eksternalitas akan terjadi apabila masyarakat mendapatkan dampak atau efek-efek tertentu diluar barang atau jasa yang terkait langsung dengan mekanisme pasar. Dalam konteks mekanisme pasar, Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar inilah yang disebut dengan eksternalitas. Dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Mudahnya, ini adalah efek yang terjadi diluar apa yang mungkin diharapkan atau didapat dari penyelenggaraan suatu barang atau jasa. Contohnya, rumah-rumah yang terletak di pinggir jalan akan mendapat polusi dari kendaraan yang melalui jalan itu, padahal mereka tidak membayar untuk itu. Polusi ini adalah contoh eksternalitas negatif. Contoh lain, sebuah taman yang cukup besar dibangun di tengah kota dengan tujuan untuk dijadikan obyek wisata dan menambah pendapatan kota tersebut. Eksternalitas yang kemudian mungkin terjadi adalah efek estetika kota dan udara yang relatif lebih bersih di sekitar taman tersebut. Ini adalah contoh eksternalitas positif. Disebut eksternalitas karena efek-efek ini terjadi diluar tujuan penyelenggaraannya. Kita tidak akan terlalu banyak membahas mengenai terminologi eksternalitas ini karena konteksnya dapat sangat meluas. Kita hanya perlu memahami pengertian dasarnya saja.

Dalam ilmu ekonomi, keberadaan masalah free rider dan eksternalitas inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya inefisiensi pasar.

Selain itu, terkait dengan dua sifat barang publik tadi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang seharusnya menyediakan barang publik. Dilihat dari sifatnya yang non-excludable, sektor swasta tentu akan menyerahkan pada pihak lain untuk mengadakan barang publik karena terlalu tidak efisien bagi mereka. Hal ini kemudian menimbulkan penafsiran bahwa konteks publiks goods adalah barang yang harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak selamanya benar. Karena penggunaannya yang untuk publik, maka pada hakikatnya, publiklah yang juga harus menyediakannya.

Sektor swasta biasanya kemudian mengembankan cara-caranya sendiri untuk mengatasi efek eksternalitas dan free rider yang dapat menimbulkan inefisiensi tersebut. Contohnya, siaran televisi sebenarnya dapat digolongkan sebagai public goods bagi seluruh pemilik televisi. Akan tetapi, sektor swasta misalnya kemudian mengembangkan sistem periklanan atau sistem TV-kabel yang mengacak transmisi siaran sehingga hanya dapat ditangkap dengan dekoder tertentu agar hanya mereka yang membeli dekoder itu yang dapat menikmati siarannya. Contoh lain adalah sistem jalan toll, sehingga hanya mereka yang membayar yang dapat menggunakan jalan tersebut.

Pemerintah pun pada hakikatnya hanya dapat terwujud karena diadakan oleh publik. Pihak pemerintah pun mengadakan barang publik dengan meminta kontribusi dari publik, diantaranya dengan pajak. Selain itu, seringkali juga pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator penyedia barang publik untuk kemudian hanya masyarakat tertentu yang bisa menikmatinya, atau untuk meningkatkan efisiensi produksinya kemudian bekerja sama dengan sektor swasta dengan batasan-batasan tertentu. Contohnya penyediaan tenaga listrik atau pengolahan air bersih, yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membayar untuk itu, atau membangun jalan dan jembatan juga dari pajak, dsb. Bisa saja kemudian masyarakat sendiri yang menyediakan barang publik untuk pemenuhan kebutuhannya, misalnya dengan kerja bakti dsb.

2.2. Private Goods

Barang privat mudahnya adalah barang-barang yang memiliki sifat berkebalikan dengan barang publik. Barang privat secara tipikal adalah barang yang diperoleh melalui mekanisme pasar, dimana titik temu antara produsen dan konsumen adalah mekanisme harga. Oleh karena itu, kepemilikan barang privat biasanya dapat teridentifikasi dengan baik.

Sebagian besar barang yang kita konsumsi adalah barang privat, yaitu barang yang hanya dapat digunakan oleh satu konsumen pada satu waktu. Misalnya, ketika seseorang sedang memakan kue miliknya, orang lain tidak dapat melakukan hal serupa. Eksklusivitas kepemilikan menjadi faktor pembeda utama barang privat dengan barang publik.

Sifat-sifat utama barang privat tentunya berkebalikan sama sekali dengan barang publik. Sifat-sifat barang privat tersebut adalah :
Rivalrous consumption, dimana konsumsi oleh satu konsumen akan mengurangi atau menghilangkan kesempatan pihak lain untuk melakukan hal serupa. Terjadi rivalitas antar calon konsumen dalam mengkonsumsi barang ini.
Excludable consumption, dimana konsumsi suatu barang dapat dibatasi hanya pada mereka yang memenuhi persyaratan tertentu (biasanya harga), dan mereka yang tidak membayar atau tidak memenuhi syarat dapat dikecualikan dari akses untuk mendapatkan barang tersebut (excludable). Contohnya, pakaian di toko hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membeli atau membayar, sementara mereka yang tidak membayar tidak dapat menikmati pakaian tersebut.
Scarcity/depletability/finite, yaitu kelangkaan atau keterbatasan dalam jumlah. Kelangkaan dan ketersediaan dalam jumlah yang diskrit atau terbatas inilah yang menimbulkan kedua sifat sebelumnya.

Barang privat biasanya memang diadakan untuk mencari profit atau laba. Karena sifat-sifatnya tadi, barang privat dapat menjaga efisiensi pasar dalam pengadaannya. Efisiensi inilah yang menarik minat sektor swasta dan menimbulkan pemahaman bahwa barang privat adalah barang yang diproduksi oleh sektor swasta. Meskipun begitu, pemerintah pun sebenarnya dapat berlaku sebagai sektor swasta dan menjadi bagian dari pasar dalam penyediaan barang privat untuk tujuan-tujuan tertentu.

2.3. Quasi-public Goods

Public dan private goods sebenarnya merupakan dua terminologi ekstrim yang saling bertolak belakang. Public goods terletak pada satu ujung spektrum, dan private goods terletak pada ujung spektrum yang berlawanan dengannya.

Meskipun begitu, dalam kenyataannya hampir tidak ada yang dapat memenuhi kriteria kedua ekstrim tadi. Dengan kata lain, sebenarnya hampir tidak ada suatu barang/jasa yang bisa kita sebut pure public goods atau pure private goods (sama seperti dalam kenyataannya sangat sulit mewujudkan suatu kondisi pasar sempurna, dimana pure private goods akan dapat diwujudkan dalam sebuah mekanisme pasar).

Terminologi yang terletak diantara kedua spektrum tadi adalah quasi-public goods. Quasi-public goods adalah barang/jasa yang hampir dapat disebut sebagai public goods, akan tetapi tidak dapat memenuhi semua sifat public goods secara mutlak. Dapat juga kita katakan bahwa quasi-public goods ini memiliki sifat-sifat public goods sekaligus sifat-sifat private goods. Meskipun begitu, kita tidak dapat mendefinisikan sifat mana saja yang dimiliki quasi-public goods secara umum, karena sifat-sifat ini secara spesifik akan sangat tergantung dari jenis barangnya.

Secara sederhana, tipologi ini dapat kita bagi atas apakah suatu barang menimbulkan kompetisi (rivalry) dalam mendapatkannya dan apakah ada konsumen yang dapat dikecualikan olehnya (excludable). Matriksnya kira-kira adalah sebagai berikut :


Barang/Jasa
Ada pengecualian dalam konsumsinya (excludability)
Ya
Tidak
Kompetisi dalam konsumsinya (rivalry)
Ya
Private goods
Quasi-public goods
Tidak
Quasi-public goods
Public Goods

Konsep quasi-public goods ini muncul biasanya karena ada kondisi-kondisi tertentu yang memaksa atau membuat sebuah public goods tidak dapat memenuhi seluruh sifat-sifatnya secara absolut.

Contoh quasi-public goods ini misalnya adalah jalan raya atau jalan umum. Kita bisa sepakat bahwa jalan merupakan fasilitas umum, public good, dan siapapun berhak menggunakan jalan raya sebagai sarana perhubungan. Akan tetapi, dapat kita bayangkan apabila terlalu banyak pengguna jalan yang memakai satu jalan di satu waktu maka dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Keberadaan satu kendaraan dapat mengurangi kesempatan kendaraan lain untuk dapat mengambil manfaat jalan itu secara optimal. Dengan kata lain, jalan raya bersifat non-excludable, akan tetapi dia menimbulkan rivalry, terutama dalam kondisi macet. Kondisi yang menyebabkan atau memaksa terjadinya hal ini adalah terbatasnya ketersediaan lahan untuk membangun jaringan jalan. Kita tidak bisa begitu saja membangun sebuah jaringan jalan karena lahan terbatas dan masih banyak fungsi-fungsi lain yang memerlukan lahan tersebut.

Contoh lain adalah air bersih. Kita sepakat bahwa semua orang membutuhkan air bersih, dan karena itu, secara alamiah air harus kita golongkan kedalam public goods, seperti halnya udara dan sinar matahari. Tetapi, apabila kita melihat contoh kasus pada PDAM, pengolahan air bersih membutuhkan biaya mahal. Untuk itu, jasa PDAM kemudian hanya diberlakukan pada mereka yang membayar. Mereka yang selama beberapa waktu tidak membayar maka tidak bisa lagi menikmati jasa PDAM itu. Artinya, dia bersifat excludable. Selain itu, penggunaan air bisa optimal apabila sumber air bersihnya melimpah atau jumlah penggunanya tidak terlalu banyak. Akan tetapi, dalam kondisi dimana air bersih merupakan sesuatu yang sedang langka atau penggunanya sangat banyak, penggunaan oleh satu konsumen dapat mengurangi kesempatan konsumen lain untuk menggunakan air bersih. Dengn demikian, dalam kondisi tertentu, dia bisa bersifat rivalry. Meskipun begitu, sekali lagi, karena selama ini kita mengenal air bersih sebagai salah satu kebutuhan primer.semua orang dan karenanya harus dkelompokkan sebagai barang publik.


Bab III
Pendidikan Tinggi :
Public Goods Atau Private Goods?


Dalam The Republic, Plato menuliskan impiannya mengenai dunia pendidikan. Dalam visinya, setiap anak bisa memulai kehidupan dengan bersekolah dalam cara yang sama. Seiring dengan waktu dan melalui ujian-ujian tertentu, mereka yang terbukti layak untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dipisahkan dari mereka yang nampaknya butuh kerja lebih keras untuk bisa berhasil. Mereka yang terpilih ini, yaitu mereka yang layak untuk melanjutkan pendidikannya, secara perlahan dan metodologis ditempa sampai akhirnya akan memunculkan satu kelompok baru yang tersisa dan benar-benar berkualitas untuk dapat memimpin masyarakatnya. Mereka yang berada diluar komunitas terpilih itu kemudian dapat diarahkan untuk mengisi posisi-posisi sosial lain dalam masyarakat.

Impian Plato ini memang tidak pernah terwujud karena hampir tidak mungkin untuk membuat semua institusi pendidikan bisa memberikan pendidikan pada siswanya dengan persis sama. Meskipun begitu, pemikiran Plato ini kemudian berkembang dan mempengaruhi pola pikir para penyelenggara pendidikan setelahnya.

Satu hal yang nampaknya kemudian menjadi kesepahaman secara umum di seluruh belahan dunia adalah bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang baik, penting, dan patut dikejar oleh semua orang. Motivasi yang mendasari pentingnya pendidikan ini dapat beragam. Seseorang dapat mengejar pendidikan karena memang merasa dirinya membutuhkan itu, atau karena ingin mengubah status dan kondisi sosialnya, atau secara sederhana ingin melihat anak-anaknya dapat mengejar impian akan masa depan yang lebih baik bagi diri mereka, atau mungkin perpaduan dari semua motivasi itu.

Dalam kultur demokrasi dan kapitalisme seperti di Amerika Serikat pun, pentingnya pendidikan dan kesetaraan semua warga negara dalam hal hak mendapat pendidikan tertuang dalam The Declaration of Independence, dan telah dianggap sebagai satu dari sekian banyak hak asasi manusia. Abraham Lincoln pun ikut mendefinisikan bahwa salah satu kebebasan yang secara asasi mutlak harus dimiliki oleh semua orang dalam sebuah negara merdeka adalah kebebasan untuk memperoleh pendidikan. Artinya, meskipun masyarakat Amerika mungkin menjunjung tinggi kepemilikan privat dan konsep rivalry dalam sistem pasarnya, pendidikan tetap menimbulkan suatu perdebatan panjang karena secara nurani dan alamiah, arti pendidikan bagi semua orang tetap memaksa mereka untuk merumuskan sistem terbaik dalam penyelenggaraan pendidikan agar publik dapat menikmatinya tanpa terkecuali (non-excludable).

Filosofi dari konsep pendidikan itu sendiri pun mensyaratkan hal yang sama. Terlebih lagi, bahkan dalam konsep relegi pun, misalnya dalam diin Islam, usaha mencari ilmu atau mengusahakan pendidikan yang baik menjadi sebuah kewajiban bagi setiap umat manusia.

Bagi bangsa dan negara Indonesia, pentingnya arti pendidikan telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini kemudian dijabarkan lagi dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Semua pemikiran ini jelas mengarah pada pemahaman bahwa pendidikan harus diperlakukan sebagai sebuah barang publik. Pemahaman ini merupakan pemahaman global yang sepertinya dianut oleh semua negara.

Meskipun begitu, dalam praktiknya, penyelenggaraan pendidikan hampir tidak mungkin mencapai kondisi ideal itu. Cukup banyak hal yang memaksa sehingga pendidikan tidak dapat dijadikan sebagai sebuah pure public goods. Yang pertama, tidak mungkin memberikan pendidikan yang persis sama bagi semua orang. Meskipun pada hakikatnya penyusunan kurikulum bagi pendidikan dasar dan menengah di suatu negara dimaksudkan untuk mewujudkan persamaan tadi, akan tetapi, penyampaiannya tidak mungkin sama di semua institusi pendidikan. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan sebagai pure public goods akan sangat tidak efisien karena mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang baik, sehingga untuk kondisi negara seperti Indonesia misalnya, tidak mungkin negara menanggung seluruh biaya pendidikan. Hal ini juga akan terkait dengan rasa kepemilikan dari masyarakat sendiri terhadap pendidikan, dimana rasa kepemilikan masyarakat terhadap hanya akan cukup besar apabila mereka berkontribusi dalam penyelenggaraannya.

Hal lain yang menjadi permasalahan adalah dalam hal penyediaan akses seluas mungkin bagi masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Perlu usaha besar-besaran untuk menjamin tersedianya cukup kursi bagi semua anak di suatu daerah untuk bisa sekolah. Usaha ini pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pembangunan SD Inpres secara besar-besaran di seluruh daerah. Selain itu, program wajib belajar pun digalakkan sampai tingkat Sekolah Menengah.

Inefisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan pun kemudian memaksa pemerintah di hampir semua negara untuk melibatkan sektor swasta dalam penyelenggaraannya. Inilah dasar berdirinya sekolah-sekolah swasta di sebuah negara. Untuk menarik minat sektor swasta, sekolah-sekolah swasta diperkenankan untuk menerapkan sistem rivalry dan excludable consumption untuk menjamin efisiensi penyelenggaraannya. Hal ini kemudian memungkinkan sekolah-sekolah swasta untuk menarik kontribusi (pembayaran) dari masyarakat dengan harga yang lebih mahal. Meskipun begitu, di negara manapun, institusi sekolah negeri kemudian tetap diselenggarakan dengan sedapat mungkin mengurangi sifat rivalry dan excludable tadi (karena hampir tidak mungkin untuk menghilangkannya sama sekali). Caranya bisa dengan memperbanyak kuantitas sekolah atau kapasitas sekolah (sehinga dia non-rivalry) atau dengan sedapat mungkin menekan biaya SPP yang harus ditanggung masyarakat (sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat memiliki akses untuk menikmatinya/non-excludable).

Meskipun ada negara-negara yang merupakan perkecualian karena mampu menyelenggarakan pendidikan secara gratis bagi rakyatnya (bahkan sampai jenjang pendidikan tinggi), biasanya hal ini disertai dengan tingginya pajak pendidikan di negara tersebut. Dengan begitu, pada hakikatnya sebenarnya sama saja, masyarakat berkontribusi (bahkan seluruh masyarakat) melalui bentuk lain, yaitu pajak.

Kita nampaknya sepakat bahwa penyelenggaraan pendidikan sebagai public goods harus berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, mengapa hal ini tidak berlaku pada pendidikan tinggi?

Jawabannya tentu adalah karena hal-hal yang memaksa itu lebih banyak lagi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Satu hal yang menjadi faktor utama adalah jauh lebih tingginya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dibanding pendidikan dasar dan menengah. Ini karena adanya fungsi riset dan tuntutan akan kualitas yang lebih tinggi dalam pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi adalah jenjang lebih tinggi yang secara filosofis dimaksudkan Plato dalam awal pembahasan kita tadi sebagai diperuntukkan bagi “orang-orang terpilih”. Terpilih dalam hal ini berkaitan dengan daya tahan orang-orang itu dalam penempaan (mengikuti proses pendidikan) dan sanggup lulus dari ujian-ujian tertentu untuk mengikuti jenjang pendidikan tinggi itu. Ujian ini tentunya adalah dalam hal kapasitas seseorang dalam mengikuti pendidikan, yang diantaranya adalah kapasitas intelektual, emosional, potensi diri dan sebagainya. Karena itu, Idealnya, tidak boleh ada hal-hal lain diluar kapasitas pribadi seseorang (yang berkaitan dengan proses pendidikan) yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan seseorang itu layak atau tidak untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Diluar konteks pemikiran Plato tadi, pemahaman bahwa pendidikan tinggi memang dimaksudkan untuk membentuk suatu komunitas kaum intelektual suatu bangsa nampaknya telah menjadi sebuah pemahaman umum di semua belahan dunia. Komunitas intelektual ini kemudian diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan inovasi-inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa, termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan kata lain, komunitas ini diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu memimpin dan mengarahkan perubahan dan pembangunan suatu bangsa. Karena itulah kemudian pendidikan tinggi dan mereka yang terlibat dalam penyelenggaraannya (mahasiswa, dosen, dsb.) mendapatkan posisi dan status sosial yang cukup terhormat dalam tatanan masyarakat. Contohnya bisa kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina atau Mesir di masa lalu, dimana status sebagai seorang “sarjana” menjadi status yang dihormati.

Dalam konteks ini kemudian dapat kita katakan bahwa salah satu sifat utama yang membedakan pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah adalah dalam hal eksklusifitasnya, atau dengan kata lain, tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, eksklusifitas ini didukung juga oleh kelangkaan atau keterbatasan kapasitas lembaga perguruan tinggi dalam menampung mahasiswa. Dua hal ini kemudian menimbulkan sifat rivalrous consumption dalam pendidikan tinggi. Rivalitas atau kompetisi harus dilakukan karena daya tampung perguruan tinggi yang terbatas dan tidak mungkin sebuah negara membangun banyak perguruan tinggi karena selain membutuhkan biaya besar, hal ini akan menghilangkan sifat eksklusif sekaligus status dan pengakuan sosial terhadap pendidikan tinggi.

Meskipun bersifat rivalry, akan tetapi pendidikan tinggi tetap tidak dapat dilepaskan dari kerangka bahwa ia adalah bagian dari proses pendidikan secara utuh yang merupakan public goods. Artinya, sifat-sifat dan nilai-nilai yang harus dijunjung dalam pendidikan pun tidak dapat dilepaskan dari pendidikan tinggi. Dalam kerangka inilah kemudian penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak boleh mengecualikan siapapun dalam hal akses atau kesempatan untuk memperolehnya (non-excludable). Apabila dihubungkan dengan sifat rivalry tadi, maka kompetisi yang dilakukan haruslah tetap berada dalam tataran akademik dan kapasitas seseorang untuk mengikuti pendidikan, dan hal-hal diluar itu tidak boleh menghambat akses/kesempatan seseorang (atau tidak boleh menjadi faktor yang bisa meng-exclude seseorang) dalam memperoleh pendidikan tinggi.

Mudahnya dapat kita katakan bahwa setiap orang dari semua lapisan masyarakat harus mampu memiliki kesempatan/akses terhadap pendidikan tinggi, dan satu-satunya faktor yang membuat mereka harus berkompetisi dengan orang lain untuk memperoleh tempat di suatu perguruan tinggi adalah kapasitas intelektual, pribadi dan atau potensi dirinya.

Maka dengan begitu dapat kita simpulkan bahwa pendidikan tinggi, yang pada hakikatnya diwujudkan dalam institusi perguruan tinggi, adalah sebuah public good yang harus bersifat non-excludable, akan tetapi karena keterbatasan dan hal-hal lain yang memaksa juga memiliki sifat rivalrous consumption. Dengan kata lain, dapat kita katakan bahwa pendidikan tinggi termasuk Quasi-public goods (karena memiliki perpaduan dari sifat-sifat public goods dan private goods). Dengan demikian, paradigma yang harus dipakai adalah bahwa pendidikan tinggi harus tetap diperlakukan sebagai public goods, karena sifat-sifat private goods hanya dimilikinya atas dasar keterbatasan kondisi atau hal yang memang memaksa untuk itu.

Hal yang kemudian seringkali merusak konsep ini adalah tingginya biaya pendidikan tinggi yang kemudian memaksa institusi perguruan tinggi meminta kontribusi lebih besar pada masyarakat (misalnya dalam bentuk SPP yang mahal). Untuk meningkatkan efisiensi dari penyelenggaraan pendidikan tinggi ini, kemudian pemerintah di berbagai negara, sama dengan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, bekerja sama dengan sektor swasta, dan berdirilah perguruan-perguruan tinggi swasta. Perguruan tinggi swasta, karena syarat berjalannya sektor swasta adalah efisiensi, kemudian mendapat kebebasan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraannya dengan sedapat mungkin mengurangi sifat non-excludable tadi (karena sifat inilah yang dapat menyebabkan inefisiensi). Inilah yang mendasari konsep bahwa perguruan tinggi swasta “berhak” meng-exclude mereka yang ingin menikmati jasanya melalui faktor-faktor lain diluar faktor akademis. Faktor yang biasanya menjadi pilihan adalah faktor ekonomi, Perguruan tinggi swasta akan meng-exclude mereka yang secara ekonomi tidak mampu membayar jasa mereka. Inilah sebabnya mengapa SPP atau kontribusi yang ditarik dari masyarakat dalam sebuah perguruan tinggi swasta relatif lebih mahal dibanding PTN.

Akan tetapi, hal ini semestinya tidak berlaku bagi PTN atau perguruan-perguruan tinggi yang pada awalnya diselenggarakan oleh negara. Perguruan-perguruan tinggi semacam ini justru harus menjadi penyeimbang bagi PTS-PTS guna tetap menegakkan perlakuan terhadap pendidikan tinggi sebagai public goods. PTN harus menjadi institusi yang menegakkan prinsip non-excludable tadi (menjamin akses bagi seluruh lapisan masyarakat) dan menyelenggarakan kompetisi yang benar-benar sehat hanya dalam hal akademis dan kapasitas pribadi untuk “menyaring” mereka yang ingin menikmati jasanya. Hal inilah yang kemudian menajdikan citra PTN di negara manapun sebagai institusi yang harus secara ekonomis mampu terjangkau oleh seluruh masyarakat sekaligus memiliki iklim kompetisi akademik yang sehat


Bab IV
Penutup



Status BHMN yang disandang oleh beberapa PTN di Indonesia, termasuk ITB, adalah status yang diberikan untuk memberikan otonomi lebih luas bagi penyelenggara PTN tersebut dalam menyelenggarakan sebuah pendidikan tinggi yang lebih berkualitas. Status ini sama sekali bukan berarti bahwa pendidikan tinggi di PTN tersebut kemudian dapat diubah menjadi private goods. Justru, hal ini berarti sebuah tantangan lebih besar bagi PTN-PTN tadi untuk bisa menjaga nilai-nilai luhur sebuah pendidikan.

Keberhasilan penyelenggaraan sebuah PTN dengan status BHMN hendaknya tidak diukur dari seberapa besar uang yang dapat ia hasilkan untuk membiayai penyelenggaraannya, akan tetapi harus diukur dari sampai sejauh mana ia dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pendidikan dan menjamin akses yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memiliki kesempatan dalam menikmatinya. Keberhasilan seluruh penyelenggaraan pendidikan tinggi bagi suatu bangsa kemudian harus diukur dari seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh pendidikan tinggi (melalui perguruan tingginya) dalam pembangunan nasional dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Kontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara inilah yang kemudian dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat (publik), dan karena itu maka kontribusi ini akan menjadi sebuah faktor yang mengukuhkan posisi pendidikan tinggi sebagai sebuah public goods (karena manfaatnya harus dapat dirasakan oleh publik).

Apabila dalam kenyataannya saat ini, PTN-PTN berstatus BHMN (termasuk ITB) menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat meng-exclude sebagian masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan tinggi, maka hal ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar pendidikan tinggi. Contohnya yang kita lihat sekarang ini misalnya adalah kebijakan PTN-PTN berstatus BHMN yang menaikkan SPP dan banyaknya sumbangan-sumbangan lain yang harus dibayar oleh mahasiswa. Hal ini secara langsung akan meng-exclude kalangan masyarakat yang lemah secara ekonomi atau secara ekonomi tidak sanggup membayar biaya SPP itu. Kebijakan semacam ini jelas-jelas merupakan kebijakan yang salah dan dapat menghancurkan pendidikan di suatu bangsa.

Contoh lain adalah keengganan pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan, berhubungan dengan ketidak-seriusan dalam pemberantasan korupsi. Memang betul bahwa Indonesia adalah negara yang secara ekonomi miskin (meskipun kaya sumber daya) dan anggaran negara ini tidak hanya untuk pendidikan, akan tetapi pandangan kita akan berubah apabila kita bertanya : “Negara mana di dunia ini yang tidak maju setelah menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan?”

Amerika Serikat ? Anggaran pendidikannya 20% meskipun masyarakatnya udah kaya dan mampu membayar SPP mahal sekalipun. India dan Mesir ? 40% ! dan sekarang 5 perguruan tinggi negeri di India masuk jajaran 10 PT terbaik di dunia. Faktanya, India juga pernah jadi negara miskin. Selain itu, berapa banyak anak muda India dan Mesir yang sekarang ini mampu menguasai persaingan tenaga kerja internasional? Mereka mampu mengisi posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam beberapa tahun, mereka akan menghasilkan banyak devisa untuk negaranya.

Tetangga kita Malaysia? Dengan anggaran pendidikan lebih dari 20 % lebih, saat ini mereka mampu memiliki industri-industri bertaraf internasional seperti Petronas , sehingga Malaysia kemudian mendapat predikat sebagai salah satu macan asia.
Jepang? Setelah dijatuhi bom atom dan kalah Perang Dunia II, mereka pun menjadi negara yang sangat miskin. Akan tetapi, hal pertama yang dilakukan oleh kekaisarannya setelah itu adalah dalam hal pendidikan. Mereka menghitung berapa orang guru dan profesor yang masih hidup. Mereka menggiatkan Universitas Tokyo dan universitas-universitas lain. Yang paling fenomenal, atas biaya negara mereka mengirimkan banyak pemuda untuk belajar di luar negeri, ke jerman untuk mempelajari teknik logam dan industri mobil, ke Amerika Serikat dan Cina untuk membelajari perdagangan, dsb. Hasilnya dapat kita lihat pada kondisi Jepang saat ini.

Sementara Indonesia masih ragu dalam meningkatkan anggaran pendidikan dan sampai sekarang masih percaya bahwa daya saing ekonomi negara ini harus bertumpu pada tenaga kerja yang murah, agar investor asing tertarik untuk masuk. Padahal, itu berarti hanya mendorong masuknya industri-industri asing yang bersifat footloose (hanya cabang dari industri yang lebih besar, contohnya pabrik televisi Sony atau pabrik sepatu Nike yang kapan saja atas kehendak pemiliknya dapat ditarik dari negara ini dan membuat ribuan orang kehilangan mata pencaharian), kita menjadi tergantung pada negara lain. Selain itu, kita tidak sadar bahwa tenaga kerja murah berarti pemiskinan masyarakat (pekerja). Sampai saat ini, sebenarnya wajar kalau tenaga kerja kita dihargai murah. Pendidikannya rendah. Dan wajar saja pendidikannya rendah, karena kita masih berlindung di balik stigma bahwa pendidikan itu mahal.

Kembali dalam konteks penyelenggaraan pendidikan tinggi, apabila kemudian wacana yang dikembangkan tetap adalah mahalnya biaya pendidikan tinggi atau bahkan kembali mempertanyakan apakah pendidikan tinggi itu public atau private goods, maka mungkin itu hanya usaha-usaha mencari pembenaran sebagai kamuflase untuk menutupi ketidak-mampuan para penyelenggara negara dan institusi PTN.



Referensi :

Cowen, Tyler. Public Goods and Externalities, http://www.econlib.org, 2002
Ginting, Rahmanta. Kebijakan Publik dalam Eksternalitas. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor, Mei 2002
Kaul, Inge. GLOBAL PUBLIC GOODS, A NEW WAY TO BALANCE THE WORLD’S BOOKS : What Is A Public Good?. Juni 2000
Lorenzen, Michael. Education: Public or Private Goods?, http://www.libraryreference.org/publicgoods.html
Private Goods, from “Wikipedia, the free encyclopedia”, 2004
Public Goods, from “Wikipedia, the free encyclopedia”, 2004
Recomendations for Good University Governance in Denmark, report by the committee “University Boards in Denmark”, 2003
Samuelson. Economics. 11th edition
Stevenson, Michael Dr.. University Governance and Autonomy Problems in Managing Access, Quality and Accountability. Keynote Address to ADB Conference on University Governance. Denpasar, Indonesia, April 26, 2004

2 comments:

Anonymous said...

tulisannya bagus!!

Anonymous said...

postingan ini sangat membantu. thx